25.8 C
Central Java
Minggu, 22 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 64

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

“Aku membawa titipan dari ibumu. Dia pesan padaku dia sangat mencintaimu dan ingin anak yang dia cintai itu bisa tersenyum lagi. Dia menerima setiap doa darimu dan selalu berada bersamamu. Itu yang dia sampaikan melalui daun yang gugur di atas makamnya.”

Iben menyelipkan setangkai daun di celah pintu kamar Lita.

Diam-diam Lita mendengarkan.

Air matanya kembali mengalir untuk kesekian kalinya.

Meski matanya telah lelah dan bengkak tetapi air mata itu tak kunjung kering.

Lita menangis untuk hal yang tidak ia mengerti.

BACA JUGA:Kunci Jawaban Tema 6 Kelas 6 Halaman 84, 86, 87, 88, 89 Pembelajaran 1 Sub Tema 3 Masyarakat Sejahtera, Negara Kuat

Menangisi ibunya kah? Menangisi nasibnya kah?

“Jika kamu ingin tahu tempat nongkrong anak muda, kamu harus membuka pintu. Jika kamu terus bersembunyi, bagaimana aku bisa mengajakmu?” Iben berkata pelan sambil menempelkan wajahnya ke daun pintu. Setelah itu, baru membalikkan tubuh dan melangkah pelan menaiki tangga menuju kamarnya sendiri.

BACA JUGA: Gus Yahya : NU Memiliki Dua Agenda Besar

Di dalam kamarnya, Lita masih mendengarkan kata-kata Iben.

Walau pelan, Lita masih mampu menangkap cukup jelas kalimat yang seperti dibisikkan Iben tadi.

Ada getar-getar aneh terasa dalam dadanya.

Nafasnya jadi semakin cepat.

Tubuhnya menjadi semakin hangat.

Di luar sadar, kedua tangannya mendekap dada. Air mata sudah tak bersisa.

Matanya justru tampak lebih berbinar sesaat.

Namun sebentar kemudian, matanya tertutup.

Mulutnya menyunggingkan senyum tipis.

Dia sendiri tidak tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada dirinya.

Seumur hidup Lita, baru kali ini dia merasa dihargai dan dimengerti.

Terlebih lagi oleh anak tirinya yang sebelumnya sangat membencinya.

Perasaan sedih Lita telah bercampur haru dan bahagia.

BACA JUGA: NU:Kemandirian dan Peradaban Dunia

Sedetik kemudian, Lita bangkit dan berlari menuju pintu.

Agak tergesa membuka pintu, hingga terdengar derit agak keras.

Dari dalam kamar Lita terus berlari menyusul Iben yang masih berada di setengah tangga menuju lantai atas.

Lita berlari dan memeluk Iben dari belakang, tangannya menggenggam setangkai daun kering yang dibawa Iben dari makam ibunya.

Entah apa yang ada di pikiran Lita, dia tidak bisa berkata-kata dan hanya bisa berterima kasih lewat pelukan.

Perasaan yang tidak bisa dimengerti itu juga dirasakan Iben.

Sedikit terharu, selebihnya bahagia dan lega.

BACA JUGA:Jessy Silana Wongso Meraih Miss Tourism International 2021

“Terima kasih, Ben…” bisik Lita lirih.

Matahari menjelang sore memancarkan cahaya jingga yang lembut dan menghangatkan.

Pepohonan bergerak meliuk gemulai diterpa angin sore yang juga sejuk menyegarkan.

Sore yang indah. Sore yang ceria.

Seceria burung-burung emprit yang masih bercecerowet di dahan-dahan pepohonan di luar rumah.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer