Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 73
Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

OPINI JATENG –
Kembali Iben diam sebentar.
Lita menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi.
Wajahnya tengadah.
Dalam hati, Lita mengakui apa yang baru saja diucapkan Iben, benar adanya.
Theo adalah laki-laki egois.
Laki-laki yang tidak pernah berusaha membahagiakan wanita.
Baginya, wanita selesai urusannya bila semua kebutuhannya dicukupi.
Uang yang membahagiakan wanita.
Tapi, nyatanya toh tidak.
Lita tidak bahagia walau diberi uang banyak untuk mencari kebahagiaan.
Ternyata Ipo dulu juga begitu.
Uang banyak hanya membuatnya menderita.
BACA JUGA: 7 Tips Ampuh Menggoda Suami yang Super Sibuk dengan Pekerjaan
Theo benar-benar tipe laki-laki penjajah.
Penjajah wanita yang harus diikuti semua aturannya.
Tidak ada kata “tidak” bagi Theo, bila dia sudah membuat aturan.
Anak-anak lelakinya pun menjadi korban jajahannya.
Korban gaya diktatornya.
“Aku bahkan tidak tahu harus memanggilmu dengan sebutan apa?” kata Iben memecah kesunyian.
“Heh… Ngomong apa kamu tadi?”
Lita balas bertanya pada Iben, karena belum begitu paham maksud kata-kata Iben.
“Aku bahkan tidak tahu harus memanggilmu dengan sebutan apa? Selama ini aku tidak pernah memanggilmu. Aku tidak mau memanggilmu ibu. Meskipun kamu nyatanya adalah ibu tiriku.”
BACA JUGA:Ingin Sukses? 5 Orang yang Wajib Ada di Sekitarmu
Lita menggeser pantat dari posisi duduknya.
Dia ikut jadi serba sulit.
Dia selama ini memanggil Iben dengan namanya.
Posisinya sebagai ibu, walau ibu tiri, mengharuskan dia berlaku begitu.
Tapi dia maklum kalau Iben tidak mau memanggilnya dengan sebutan ibu.
Kebencian Iben padanya, pada ayahnya, menghalangi nalar Iben untuk menyebutnya sebagai ibu.
Lita sebenarnya juga risih bila dipanggil ibu oleh Iben.
Umur mereka hanya terpaut lima tahun.
“Oh ya. Aku sendiri jadi ikut bingung. Lha, menurut kamu, panggilan apa yang paling pantas kamu berikan padaku?” tanya Lita.
“Tak tahulah! Selama ini aku memanggilmu dengan kamu saja. Ya biarlah aku tetap mengkamukan kamu untuk seterusnya.” jawab Iben. Kali ini ada senyum tipis di bibirnya.
BACA JUGA:Google Doodle Lucu di Awal Tahun Baru 2022, Dibuat Meriah dan Lucu
Lita melihat senyum itu. Dia pun ikut tersenyum.
“Oke, Ben. Kita sudahi dulu diskusi kita ya. Kita lanjutkan makan dulu.” Lita mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Tapi Iben malah menyorongkan piringnya yang masih ada sisa nasi, sayur, dan lauk, ke tengah meja.
“Ah, aku sudah tidak berselera makan. Perutku mendadak saja jadi kenyang,” katanya.
“Ya sudah. Aku juga sudah kenyang. Mau minum teh manis atau air putih?” tanya Lita, menawari Iben.
Berkata begitu, tangannya sudah terjulur ke arah gelas-gelas di atas nampan.
“Teh manis saja, deh.” jawab Iben singkat.
Lita mengambil gelas teh manis yang ternyata masih tersisa sedikit hangatnya.
Disorongkannya gelas teh itu ke depan, ke arah Iben.
Iben juga mengangkat tangannya untuk menerima gelas itu.
Gelas berpindah tangan.
Saat menerima gelas, ujung jari Iben sempat menyentuh jari-jari Lita.
Dan Iben merasakan debar halus di dalam dadanya.
BACA JUGA:Lirik Lagu Bila Nanti Nabila Maharani Menyentuh Sakitnya Dikhianati
“Terima kasih.” katanya sambil menundukkan kepala.
“Mbok….!” Lita berteriak memanggil Mbok Siti sambil kepalanya menengok ke arah ruang dapur.
“Ya, Neng…” Terdengar jawaban Mbok Siti, dan sebentar kemudian Mbok Siti sudah muncul di ruang makan.
“Maaf, Mbok. Kami tidak menghabiskan makan malam. Semua enak. Cuma karena kami tadi mengambil kebanyakan, jadi malah gak habis. Sayur lodehnya besok dihangatkan untuk sarapan. Tentu akan makin enak. Hehehe…”
Lita memberikan pengertian pada Mbok Siti.
Dia khawatir Mbok Siti kecewa masakannya dikira tidak enak.
“Oh, tidak apa-apa, Neng. Mbok maklum, Neng dengan Den Iben kayaknya tadi lebih banyak ngobrol daripada makan. Maaf lho, Neng….Hihihi…”
Mbok Siti tertawa kecil sambil menyentuh lembut punggung Lita.
“Ah, Mbok ini ada-ada saja. Terima kasih ya, Mbok.”
“Iya, Neng.”
Dari meja makan, Lita berjalan menuju ruang depan.
Baru pukul delapan lebih tiga puluh menit. Masih sore.
Belum pantas masuk kamar tidur.
Dan lagi dia belum merasa kantuk.
“Yuk, kita ngobrol sambil nonton TV,” ajaknya pada Iben.
Iben tidak menjawab.
Tidak pula mengangguk tanda setuju.
Tapi dia bangkit dari kursi dan mengikuti Lita dari belakang, menuju ruang depan.
BACA JUGA: 5 Tips Menyusun Resolusi Sederhana untuk Tahun 2022 yang Lebih Bermakna
Ternyata TV-nya sedang berada pada channel TV yang menyiarkan langsung semacam pemilihan bintang pemula penyanyi dangdut.
Masih dalam tahap seleksi awal.
Lita duduk di sofa yang persis berhadapan dengan TV.
Jadi dia nonton dengan pandangan lurus ke layar.
Sedang Iben mengambil sofa yang berada di samping kanan sofa yang diduduki Lita.
Sofa itu relatif panjang, dengan lengan yang cukup besar dan tebal.
Iben langsung menjatuhkan dirinya telentang di sofa itu.
Kepalanya bersandar pada lengan sofa, yang ditambahnya dengan bantalan yang ada di sofa.
Dengan demikian, kepalanya juga menghadap ke arah layar TV.
BACA JUGA:
“Kamu gak suka acara ini ya? Kamu gak suka dangdut?” suara Lita memecah kesunyian.
“Gak papa. Nikmati saja. Aku juga hanya menunggu kantuk saja di sini.” jawab Iben dingin. Malah terdengar sedikit agak ketus.
“Kalau kamu gak suka, aku pindah channel lain,” Lita menawarkan opsi lain.
“Gak usah. Silakan nikmati musik kesukaanmu. Aku tidak merasa terganggu.” Suara Iben kali ini lebih rendah.
“Kamu gak belajar? Memang gak ada tugas kuliah?” tanya Lita lagi.
Iben diam sebentar.
Dia memperbaiki posisi berbaringnya.
Sekarang posisinya miring ke arah kiri, jadi dia melihat kedua kaki Lita yang diangkat dan ditaruh di atas meja pendek yang membatasi Lita dengan TV.
“Gak ada. Ini kan baru masuk semester awal. Jadi dosen belum memberi tugas. Masih santai.”
Mata Iben masih terpusat pada kedua kaki Lita yang saling bersilang di atas meja.
Kaki yang bersih terawat.
Walaupun yang terlihat hanya sebagian saja.
Sedikit betis di atas mata kaki dan telapak kaki dengan jari-jari yang berkuku agak panjang.
Iben sudah sering melihat kaki wanita.
BACA JUGA:Buih Jadi Permadani, Lagu Exists Viral Setelah Cover Zinidin Zidan
Di kampus, banyak mahasiswi memakai rok tanggung di bawah lutut.
Betis ke bawah kelihatan.
Begitu pula kalau sedang kuliah di kelas.
Dia sering duduk berjejer dengan teman wanita.
Teman-teman wanitanya, kalau sedang kuliah, suka melepas sepatu.
Jadi kakinya telanjang.
Telapak kaki sampai kuku-kukunya bebas terlihat olehnya.
Bahkan ada teman mahasiswi yang suka usil, dengan kaki telanjangnya itu mengutik-utik telapak kakinya yang juga dia lepaskan dari sepatu.
Tapi, Iben tidak pernah punya perasaan apa-apa.
Biasa-biasa saja.
Malam ini, untuk pertama kalinya dia melihat sebagian dari kaki Lita.
Dan aneh.
Ada perasaan lain dalam dirinya.
Matanya seperti tidak mau lepas dari kaki Lita.
Dalam pandangannya kaki yang bersih itu begitu menarik.
Dia ingin menyentuhnya.
Dia ingin mengelusnya.
Dia ingin memijitnya.
Seperti dia lakukan pada ibunya dulu.
Dia memijiti kaki ibunya saat nonton TV berdua.
Sementara itu, Lita tampaknya terserap perhatiannya pada layar TV.
Ada penyanyi dangdut yang mendapat aplaus meriah dari penonton dan Dewan Juri.
Komentar salah satu Dewan Juri, seorang penyanyi dangdut wanita, katanya berasal dari Indramayu, yang sedikit agak genit, menyanjung sang pedangdut pemula itu dengan lebay. Penonton jadi lebih bergemuruh.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***
