OPINIJATENG.COM – Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI), hari ini, 6/1/2022 memperingati Hari Ulang Tahun – Milad – nya ke-33.
Angka ini bagi warga Muslimin pasti ingatannya adalah bacaan dzikir sehabis shalat, yakni Subhanallah (tasbih), AlhamduliLlah (hamdalah), dan Allah Akbar (takbir) masing-masing 33x.
Maha Suci Allah, segala puji hanya milik Allah, dan Allah Maha Besar.
BACA JUGA: Doa agar Anak Keturunan Rajin Salat Arab, Latin, dan Terjemahan
Pembentukan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) didasarkan atas mandat dari Pemerintah/negara agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif dalam meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1988.
LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal.
Untuk memperkuat posisi LPPOM MUI menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada tahun 1996 ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan MUI.
Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal. (https://www.halalmui.org/).
Tema yang diusung pada Milad ke-33 LPPOM-MUI adalah Terdepan Dalam Solusi Jaminan Halal.
Tagar yang dibuat pun bervariasi #milad33lppommui; #ingathalalingatlppom; #lppommui; #halalismylife; dan #halalismylifestyle. Perjuangan dan ikhtiar LPPOM-MUI melayani sertifikasi halal – yang memang hingga 17 Oktober 2019, bersifat voluntary, harus disyukuri bahwa kesadaran dan tumbuhnya budaya halal masyarakat cukup menggembirakan.
BACA JUGA:Polri Buat Aturan Baru 2022 Pergunakan Chip di Pelat Nomor Kendaraan
Bukan hanya produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat halal yang masyarakat butuhkan, akan tetapi produk gunaan seperti kulkas, hotel, rumah sakit, akan tetapi wisata halal, sudah menjadi kebutuhan masyarakat baik domestik maupun mancanegara.
Ibarat manusia, usia 33 tahun, adalah usia sangat produktif.
Namun di tengah proses kematangan usianya itu, LPPOM harus berbesar hati dan terus berkarya dengan semangat dan optimisme, bahwa sejarah yang akan mencatat dalam torehan mas, perjalanan, kiprah, dan kontribusinya bagi pembangunan budaya halal di Indonesia demi menggantung asa dan harapan terwujudnya negeri yang Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Demi ikhtiar menyelamatkan dan menjamin agar warga Muslim di negeri ini jangan sampai mengonsumsi produk makanan, obat-obatan, dan Kosmetika yang haram.
BACA JUGA: 70% Anak di Semarang Sudah Divaksin, Diprediksi Minggu Depan 100%
Karena “setiap daging yang tumbuh berasal dari makanan/minuman yang haram, maka neraka – rasa panas yang membakar – lebih patut baginya” (Riwayat At-Tirmidzi). Dalam perkembangannya, budaya halal, atau Halal is My Life, atau Halal is My Lifestyle.
Bahkan bagi industri logo atau label halal yang khas MUI itu, dalam gambar lingkaran warna hijau, dengan tulisan Halal (Arab) dan MUI, mereka anggap menjadi bagian dari branding product mereka.
Karena itu, hingga tulisan ini dibuat, logo versi BPJPH, yang tampaknya mau “mengaburkan jejak sejarah LPPOM-MUI” tidak atau belum juga diluncurkan, karena tidak mendapat respon yang baik dari industri.
Kebijakan Set-back
Kelahiran UU Nomor: 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) merupakan “titik-balik” sejarah bagi LPPOM-MUI.
UU ini mengamanati Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk mengambil alih kewenangan sertifikasi halal.
Pasal 5 ayat (3) Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
LPPOM-MUI yang pada awalnya, diamanati menjalankan sertifikasi halal berdasar Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001, melalui UU 33/2014 tersebut, kewenangan itu ditarik kembali.
BACA JUGA:Raih Madrasah Berprestasi, 1000 Siswa MTs N 2 Banjarnegara Pacu Kompetensi
Meminjam bahasa anak muda yang agak sentimentil, “kau yang mulai kau yang mengakhiri”? Tentu LPPOM-MUI, sebagai komunitas yang taat asas, maka transformasi LPPOM menjadi LPH, akan tetap dijalankan selagi masih memungkinkan dan mampu menjalankannya.
Ada banyak catatan dari banyak pihak. Di antaranya, ketika suatu urusan sudah dijalankan dengan baik oleh masyarakat, termasuk LPPOM, dan utamanya industri baik besar maupun mikro, kecil, dan menengah sudah menerima dan menjalankannya dengan baik, negara hadir melalui pemerintah itu, tinggal mengaturnya supaya lebih tertib dan semua pihak terjamin hak-haknya, tentu setelah mereka memenuhi kewajibannya, dan akuntabel.
Akan tetapi, ketika negara hadir tidak hanya sekedar menjadi regulator dan supervisor, tetapi merangkap menjadi operator, maka sangat boleh jadi, akan banyak mengalami kendala dan hambatan yang serius.
Apalagi pejabat yang mengurusnya di BPJPH, ada semacam “kewajiban rutin 4-5 tahunan” harus ada mutasi atau “tour of duty” maka ritme dan atmosfer kerja, pasti mengalami “kekagetan” karena ada “tuntutan profesionalisme dan kompetensi” yang harus memulai belajar baru lagi bagi pejabat baru.
Nuansa dan aroma perdebatan pada proses legislasi RUU JPH menjadi UU JPH, banyak pihak berhitung bahwa negara akan mendapatkan PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak) sekian juta rupiah/per-industri/UMKM, akan tetapi di tengah masa pandemic Covid-19 yang belum berakhir, negara justru harus menggerus APBN-nya, untuk membiayai sertifikasi halal UMKM.
Yang lebih tidak masuk akal lagi adalah, beberapa klausul Keputusan Kepala BPJPH Nomor: 141 Tahun 2021 tentang Penetapan Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPJPH, yang dikeluarkan 11 November 2021.
Pada Bab II Tarif Layanan Utama, poin A.1.f. berbunyi “Merupakan Pelaku Usaha kategori mikro dan kecil dengan modal usaha:
1). Pelaku Usaha Mikro memiliki usaha sampai dengan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan
2). Pelaku Usaha kecil memiliki modal usaha lebih dari Rp 1.000.000.000,00- (satu miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha”.
Dengan ketentuan ini, jumlah modal usaha bagi Pelaku Usaha kategori mikro dan kecil dibuktikan dengan nomor induk berusaha (NIB).
BACA JUGA:Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 72
Tarif layanan sertifikasi halal dengan pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil (self-declare) adalah nol rupiah; untuk permohonan sertifikat halal (regular)
a. usaha mikro dan kecil (modal Rp 1 M – Rp 5 M) sangat besar Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah);
b. Usaha menengah Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan
c. usaha besar dan/atau berasal dari luar negeri sebesar Rp 12.500.000,00- (dua belas juta lima ratus ribu rupiah).
Tentu sangat-sangat baik, keberpihakan dan “advokasi” BPJPH terhadap UMKM, akan tetapi jika kemudian di dalam pelaksanaannya, semua akan ditempuh dengan self-declare, maka negara tidak akan mendapatkan apapun dari UMKM.
Selain itu, apakah biaya sertifikasi halal untuk UMKM regular, menengah, dan usaha besar, BPJPH akan “memungut” dari industri, atau diambilkan dari APBN, Allah a’lam.
Jika semua dibiayai APBN, tentu ini akan lebih baik lagi, dan negara ini boleh jadi akan menambah defisit APBN-nya.
Selamat Milad ke-33 dan Bravo LPPOM-MUI ke-33, teruslah berusaha yang terbaik dan bekerja ikhlas, Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman, akan melihat hasil kerjamu (QS. At-Taubah (9): 105). Allah al-musta’an.
*)Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Guru Besar Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Tengah, Ketua II Bidang Pendidikan YPKPI Masjid Raya Baiturrahman, Ketua Komite Sekolah SDN 01 dan SMAN 08 Semarang, Koordinator Wilayah Indonesia Tengah Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat, Anggota Dewan Penasehat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Pusat, dan Ketgua DPS RSI-Sultan Agung Semarang.***