5 Oktober 2025 09:18
Cover Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang - Horisontal

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.COM menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINI JATENG –

Hanya saja, Lita harus pandai-pandai meredam emosi Iben.

Pada saat Theo pulang, Iben selalu meradang.

Rasa cemburu Iben pada Theo tidak dapat ditutup-tutupi.

Lita sangat paham dengan kondisi emosional Iben.

Anak remaja umur dua puluhan tahun, yang sedang berada pada puncak keinginan birahi, seolah tak pernah padam hasratnya untuk terus bercinta.

Bagi Iben, Lita sekarang ini sudah sepenuhnya miliknya.

Baik tubuhnya maupun hatinya.

Dalam pelukan Lita, Iben mendapatkan segalanya.

Kedamaian dan ketenteraman jiwa karena seperti berada dalam pelukan ibu, sekaligus kenikmatan dan kepuasan seksual yang mampu melepaskannya dari segala ketegangan.

Wajar saja, bila Theo pulang, Iben merasa Lita seperti terampas dari tangannya.

Dia kehilangan Lita untuk beberapa saat.

Dan itu sangat mengganggu perasaannya.

Tentu saja, hal itu juga menambah kebencian dan meningkatkan permusuhannya dengan Theo, ayahnya.

“Sabar, Ben. Selalu akan ada jalan keluar untuk kita. Kamu masih muda. Langkahmu ke depan masih panjang. Bukankah aku tidak ke mana-mana? Aku masih di rumah ini bersama kamu. Kalau dua tiga malam aku tidak bersamamu, tak perlu terlalu dipikirkan. Anggap saja itu pengorbanan untuk kita.” Lita selalu berusaha mendinginkan kepala Iben yang mulai panas bila Theo tidak segera kembali ke Jakarta.

BACA JUGA:Forpis Embrio Agen Perubahan Perilaku Remaja

“Enak saja kamu ngomong! Mataku sepet lihat kalian berdua. Tahu?!” Emosi Iben semakin meningkat.

“Ya sudah. Aku mengizinkan kamu pergi jalan-jalan keluar. Mainlah dengan Dodit atau kawan-kawanmu yang lain. Kalau perlu tidak pulang dua tiga hari. Gak apa-apa. Janji deh, aku tidak akan menampar pipimu lagi.” kata Lita sambil tersenyum.

Lita mengelus-elus kepala Iben.

Iben hanya menunduk.

Kalau sudah dielus-elus Lita, Iben kehabisan kata.

Adanya hanya diam.

Tidak pernah ada kata tidak untuk permintaan Lita.

Pola hubungan yang ganjil.

BACA JUGA:Kedengkian Melahap Kebajikan

Itulah yang terjadi antara Lita dan Iben. Bagi Iben, Lita adalah satu-satunya orang yang bisa diajak bicara curahan hati.

Iben tidak mungkin bicara dengan orang lain.

Tidak dengan Mbok Siti.

Tidak dengan Dodit.

Tidak dengan Ikang.

Juga tidak dengan Ibas.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *