Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 126

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.COM menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

OPINI JATENG –
Bagian 18
BADAI TELAH DATANG
Rumah Theo terang benderang.
Semua pintu terbuka lebar.
Termasuk pintu gerbang halaman.
Halaman juga dipasang tenda dengan hiasan warna warni.
Meja dan kursi tamu tertata rapi.
BACA JUGA:Keuangan Syariah akan Jadi Primadona di Indonesia
Banyak orang sibuk menata ini itu, untuk meyakinkan semua sudah sesuai harapan dan keinginan.
Di halaman sampai pinggir jalan di dekat pintu gerbang, banyak berjejer karangan bunga.
Karangan bunga itu berisi ucapan selamat berbahagia untuk Theo dan Lita, atas kelahiran anak lelaki mereka.
Tertulis si pengirim karangan bunga itu, dari kalangan pejabat tinggi pemerintah, petinggi partai politik, sampai pengusaha.
Sebagai Wakil Ketua DPR RI, tentu saja jejaring kolega Theo sangat luas dan beragam.
Malam ini adalah tepat tujuh hari sejak Lita melahirkan anak lelakinya.
Adat Jawa, dalam rangkaian upacara menyambut kelahiran, tujuh hari kelahiran adalah saat yang tepat untuk memberi nama kepada si jabang bayi.
Begitupun Theo, malam ini mengundang kolega terdekatnya, terutama yang berada di Semarang, untuk menyaksikan upacara pemberian nama anak lelakinya.
Sejak sore, Theo dan Lita ikut sibuk mempersiapkan acara.
Mbok Siti dan Pak Anwar tidak kalah sibuknya.
BACA JUGA:Kantongi 100 Medali Emas, Maitsa Tambah Percaya Diri
Mbok Siti menjadi pemegang komando urusan makanan dan minuman.
Walaupun semuanya sudah dipesan melalui jasa catering, Mbok Siti tetap paling dominan mengatur tata tempat dan tata penyajian sesuai peta ruangan rumah.
Sedang Pak Anwar, sibuk dengan mobilnya keluar masuk rumah melayani instruksi Theo, bila harus mencari atau membeli sesuatu yang segera diperlukan untuk persiapan acara.
Sedang Iben, sikapnya seperti orang bingung.
Tak tahu mesti berbuat apa.
Dia tidak ingin terlibat dalam upacara ini.
Tapi, melihat suasana rumah yang hiruk pikuk, dia merasa serba salah.
Dia lebih senang kalau pergi saja dari rumah.
Nongkrong di warung kopi Simpang Lima, sepertinya malah lebih menenteramkan hatinya.
Tapi dia tidak mungkin pergi dari rumah.
Lita sudah pesan, mengingatkan, dia tidak boleh pergi ke mana-mana.
Dia harus berada di rumah mengikuti semua jalannya upacara.
Dari awal sampai akhir.
BACA JUGA:Etika Berbicara Santun dengan Orang Lain, Terapkan
Lita setengah mengancam, akan marah kalau Iben sampai pergi meninggalkan rumah.
Malam ini, kolega Theo akan banyak yang berdatangan ke rumah.
Iben harus ada.
Iben harus tampak oleh kolega Theo.
Iben tidak bisa menolak kemauan Lita.
Akhirnya, sejak sore dia sudah berdandan rapi.
Bercelana jins, berbaju lengan pendek, dan menyisir rapi rambutnya yang gondrong.
Dia lebih banyak duduk-duduk di kursi yang sudah tertata rapi.
Sesekali ngobrol dengan para panitia, kader partai politik yang dikerahkan pimpinan daerah.
Obrolan basa basi.
BACA JUGA:Jangan Sia-siakan Shalat Kita dengan Menebar Fitnah
Hampir semua kolega dan kader partai di Jawa Tengah mengenal keluarga Theo.
Termasuk Iben, sebagai anak bungsu.
Pukul tujuh malam, tamu-tamu mulai berdatangan.
Sebentar saja rumah dan halaman penuh dan ramai.
Jalan di depan rumah tersendat, mobil para tamu berusaha mencari tempat parkir yang nyaman.
Hansip Kelurahan sudah dimintai bantuan untuk mengatur parkir mobil para tamu.
Untung, di depan rumah ada tanah lapang kosong yang biasa dipakai bermain sepakbola oleh anak-anak.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***