5 Oktober 2025 09:18
Cover Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang - Horisontal

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.COM menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINI JATENG –

Dan malam ini tubuh Lita dipamerkan untuk dinikmati oleh banyak mata lelaki?

Walaupun sekadar nikmat pandangan mata, bagi Iben, Lita sudah berbuat keterlaluan.

Lita sudah tidak menghargai dan menghormati dirinya sebagai lelaki, yang menurut pengakuannya sendiri, adalah lelaki yang paling berhak atas tubuhnya.

Lelaki, pada siapa dia sudah menyerahkan jiwa raga, sepenuhnya kepadanya.

BACA JUGA: Jangan Sia-siakan Shalat Kita dengan Menebar Fitnah

Dalam pikiran dan perasaan Iben, Lita sudah mengkhianati dirinya.

Iben sudah dianggap seperti tidak ada di mata Lita.

Iben hanya bisa membenamkan wajahnya ke atas bantal.

Sampai dia kesulitan bernafas, lalu mendongakkan kepala sambil melepas nafas dengan suara keras.

Hoaaahh….

Sementara di bawah, setelah acara makan bersama selesai, para tamu satu per satu pulang.

Yang tinggal hanya para anak muda kader partai yang memang bertugas untuk mengurusi perlengkapan acara.

Mereka membantu beres-beres sehingga halaman dan rumah kembali bersih.

Tengah malam, baru rumah sepi.

Semua orang kembali ke tempat masing-masing.

BACA JUGA : Keuangan Syariah akan Jadi Primadona di Indonesia

Mbok Siti sudah tidur pulas di kamarnya di bagian belakang rumah.

Pak Anwar juga sudah terlelap di kamarnya.

Mereka kelelahan setelah bekerja sehari penuh.

Sejak bangun pagi dini hari tadi, baru berhenti menjelang tengah malam.

Tidak heran, begitu menelentangkan badan, mata langsung terpejam, lupa dengan dunia seisinya.

Begitu pula dengan Theo.

Setelah tamu sepi, segera lepas baju, ganti piyama tidur, dan masuk ke kamar tidur untuk istirahat.

Lita juga sudah berganti baju dengan daster tidur.

Tapi Lita masih punya kewajiban menjaga dan menyusui bayinya.

Dan Lita lebih senang menyusui anaknya di luar kamar.

Dia menyusui anaknya di ruang makan.

Sambil dirinya membuat susu panas untuk diminum di tengah malam itu.

Rumah dalam keadaan sunyi.

BACA JUGA: Bisakah Takdir Berubah? Ini Penjelasannya

Hanya sesekali terdengar suara langkah Lita saat mondar mandir sambil menggendong bayinya.

Dalam suasana sepi itu, tiba-tiba terdengar pintu kamar di lantai atas terbuka.

Iben, keluar kamar, turun tangga, dan menuju ke ruang makan.

Dibukanya lemari es.

Diambilnya sebotol air dingin.

Lalu dia minum langsung dari mulut botol.

Setengah botol air dingin dengan cepat berpindah tempat.

Setelah itu, dia menyeret kursi makan.

Duduk diam seperti patung.

Lita yang memperhatikan perilaku Iben, pelan-pelan mendekati.

Dia tarik kursi di seberang meja.

Duduk menghadapi Iben.

“Kok kamu tadi gak kelihatan di depan. Ke mana saja?” tanya Lita membuka pembicaraan.

“Apa pedulimu?” jawab Iben ketus.

“Lho, kok begitu sih? Ditanya baik-baik kok, jawabnya ketus gitu?” kata Lita sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.

Matanya terbuka lebih lebar.

“Iya, apa pedulimu, padaku? Toh malam ini pestamu. Bahagiamu. Bahagia ayah. Kalian yang memiliki malam ini. Bukan aku.” kata Iben, masih dengan nada kaku.

“Kamu gak boleh gitu, dong. Bukankah malam ini memang milik keluarga kita? Milik kita bersama? Milikku. Milik ayahmu. Milikmu. Milik Ipung. Kita semua senang, gembira, bahagia, anak ini sudah diberi nama malam ini.” kata Lita, dengan nada pelan.

“Iya. Milikmu. Milik ayah. Milik Ipung. Tapi bukan milikku. Aku bukan siapa-siapa. Aku tidak menjadi siapa-siapa, malam ini. Aku hanya anak lelaki bungsu Theo, yang disebut orang karena bayimu wajahnya persis wajahku. Hanya itu.”

Kembali Iben bicara. Kali ini dengan nada agak tinggi.

Lita menghela nafas.

Panjang.

BACA JUGA:Kantongi 100 Medali Emas, Maitsa Tambah Percaya Diri

Dipandanginya wajah bayi di pangkuannya yang sudah mulai tidur.

“Iya. Wajahnya mirip kamu. Sudah seharusnya begitu. Bukankah Ipung ini memang anakmu?” Lita seperti menggumam.

Lirih.

“Iya. Anakku. Tapi aku, ayahnya, tidak berhak menyebut dia anakku. Orang tahunya itu anak ayah.” jawab Iben sambil mengusap-usap rambut gondrongnya.

“Sudahlah, Ben. Biarlah semua berjalan seperti ini dahulu. Tak ada yang perlu dirisaukan.” kata Lita masih dengan nada pelan.

“Tak ada yang perlu dirisaukan, katamu? Ha! Kamu dan ayah bergembira ria. Kamu dandan bak peragawati. Pamer tubuh seksimu. Pamer buah dadamu. Pamer leher dan tengkuk mulusmu. Semua lelaki memandangmu penuh nafsu. Kamu malah bangga. Begitu pula ayah, kok malah bangga isterinya pamer tubuh. Para lelaki matanya pada mendelik, meskipun dengan mencuri pandang. Huh! Apa yang kalian lakukan malam ini, sebenarnya?” Iben makin meninggi nada bicaranya.

“Iben!” Tanpa sadar Lita ikut berbicara keras. Tapi sebentar kemudian, dia sadar dan memperpelan suaranya.

“Kamu jangan salah mengerti. Bukankah aku dan ayahmu harus menghormati para tamu? Sudah jadi kewajiban ayah dan aku untuk menyenangkan para tamu. Bukankah sudah seharusnya aku tampil yang terbaik untuk menghargai dan menghormati mereka?”

“Hm, begitukah caramu menghormati dan menghargai para lelaki? Dengan pamer wajah cantik dan tubuh indahmu? Sementara aku, yang menurut katamu, lelaki yang memiliki tubuh dan hatimu, yang menurut katamu, lelaki yang menjadi ayah anakmu, malah tidak kamu pedulikan. Kamu anggap tidak ada malam ini!”

Iben meremas botol air dalam genggamannya.

BACA JUGA: Bulan Rajab Bulan Spesial untuk Beribadah

“Maafkan, aku. Ben..” kata Lita tersendat di tenggorokan.

“Aku sungguh tidak mengerti maumu, Ta. Saat bersamaku, kamu begitu lembut, dan aku benar-benar terbius dengan kelembutanmu. Saat kita bercinta, kau begitu total memberikan segalanya kepadaku.”

“Tapi, saat bersama ayah, kau pun tampak begitu lembut, dan ayah juga benar-benar terbius dengan kelembutanmu. Apakah saat kalian bercinta, kau juga total memberikan segalanya kepada ayah? Lalu, apa sesungguhnya makna aku dan ayah, dalam pandanganmu? Apakah aku dan ayah hanya kau anggap dua pejantan…”

“Stop!” Lita setengah berteriak.

Badannya bergetar.

Dia mengusap wajahnya.

BACA JUGA: Usia Terbaik Anak Disunat

“Jangan teruskan kata-katamu, Ben. Kata-katamu itu sungguh menyakiti hatiku! Aku yakin, kamu tahu, kamu bisa merasakan bagaimana sesungguhnya aku menerima kamu dalam hidupku.”

“Tidak ada yang tersisa. Semua aku serahkan kepadamu. Bayi ini pun adalah bukti nyata dari hasil penyerahan diriku kepadamu. Sudahlah. Aku mengerti. Kamu marah. Kamu kecewa malam ini.”

“Semua karena kamu cemburu, bukan? Maafkan aku, aku terlalu menikmati suasana malam ini, hingga aku lupa, kamu duduk di pojok sana, kesepian sendiri. Mestinya, pesta ini memang untuk kita berdua.”

“Malah untuk kita bertiga. Kita dan anak kita ini. Mestinya, kamu yang menimang anak ini. Mestinya, kamu yang memberi nama anak ini….”

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *