Cinta Tak Bertepi

Ilustrasi Cinta Tak Bertepi/S_Marzy
OPINIJATENG.COM-Malam itu, di sudut kamar hotel berbintang lima di jantung Kota Palembang, Andrian duduk termenung. Pikirannya mengembara jauh, menyusuri lorong waktu yang penuh dengan kenangan. Pernikahannya dengan Elsa, seorang dokter muda yang memesona, baru berjalan satu tahun, tetapi ia merasa seperti telah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan.
Andrian bukanlah pria sembarangan. Ia seorang pengusaha tambang yang sukses, dengan aset yang melimpah. Namun, di balik kesuksesannya, hatinya masih menyimpan luka mendalam akibat kehilangan istri pertamanya, Rina, yang meninggal karena Covid-19. Kepergian Rina meninggalkan duka mendalam bagi Andrian dan kedua anaknya, Adit dan Naya, yang kini beranjak remaja.
Ketika Elsa hadir dalam hidupnya, ia merasa ada harapan baru. Elsa cantik, berpendidikan tinggi, dan memiliki latar belakang sebagai dokter. Ia berpikir, mungkin Elsa bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Namun, sejak awal, pernikahan mereka tidak direstui oleh Pak Dhanu, ayah angkat Andrian yang telah merawatnya sejak kecil.
“Jangan gegabah, Nak. Kau belum mengenalnya dengan baik,” kata Pak Dhanu saat Andrian meminta restunya.
Namun, cinta memang sering membutakan. Pernikahan mewah mereka digelar dengan penuh kemewahan. Mahar milyaran dan mobil mewah yang diberikan Andrian kepada Elsa menjadi buah bibir di seluruh Palembang. Semua orang membicarakan pernikahan spektakuler itu, tetapi hanya sedikit yang tahu bahwa kebahagiaan di baliknya tak seindah yang terlihat.
***
Awalnya, Andrian mencoba mengabaikan firasat buruknya. Namun, semakin hari, Elsa menunjukkan sisi lain yang tidak pernah ia perkirakan. Alih-alih mengabdikan diri sebagai seorang dokter, Elsa memilih menikmati hidup dalam kemewahan. Berbelanja di butik mahal, menghadiri pesta sosialita, dan bepergian ke luar negeri menjadi rutinitasnya.
“Aku sudah lelah menjadi dokter,” kata Elsa suatu hari. “Aku ingin menikmati hidup. Bukankah itu alasan kita punya banyak uang?”
Andrian terdiam. Ia tahu Elsa berasal dari keluarga berada, tetapi ia tak menyangka bahwa istrinya akan menolak bekerja dan malah terus-menerus menuntut lebih banyak kemewahan. Orang tua Elsa pun tak kalah serakah. Mereka mulai meminta ini dan itu, dari rumah baru hingga mobil mewah untuk setiap anggota keluarga mereka.
“Andrian, Papa ingin ganti mobil. Bagaimana kalau beli satu untuk semua saudara juga?” pinta Elsa tanpa rasa bersalah.
“Elsa, aku sudah memenuhi semua permintaanmu. Sampai kapan ini akan berlanjut?” balas Andrian dengan nada lelah.
Elsa mengangkat bahu. “Apa gunanya uang kalau tidak bisa dinikmati?”
Namun, yang paling menyakiti hati Andrian bukanlah kemewahan yang Elsa tuntut, melainkan sikapnya terhadap ibu Andrian dan kedua anaknya. Elsa enggan berurusan dengan mereka. Ia menghindari ibu Andrian yang sudah sepuh dan selalu bersikap dingin terhadap Adit dan Naya.
“Aku menikah denganmu, bukan dengan keluargamu,” katanya suatu hari ketika Andrian meminta Elsa untuk sedikit lebih peduli.
Hati Andrian seperti ditikam. Ia semakin merasa bahwa pernikahan ini adalah kesalahan besar. Setiap hari, pertengkaran terjadi. Setiap malam, ia tidur dengan kepala penuh beban.
***
Suatu sore, setelah bertengkar hebat dengan Elsa, Andrian mengambil mobilnya dan melajukan kendaraan ke rumah Pak Dhanu di pinggiran Palembang. Udara panas tidak mampu mengurangi kegelisahannya. Setibanya di rumah yang sederhana itu, Lelaki sepuh itu menyambutnya dengan tatapan yang penuh pemahaman.
“Aku tahu kau akan datang,” kata Pak Dhanu sambil menyeduh kopi.
Andrian menundukkan kepala. “Bapak benar. Aku salah. Aku buta oleh cinta yang semu.”
Pak Dhanu menghela napas. “Kau terlambat menyadari, Nak. Tapi bukan berarti kau tak bisa memperbaiki semuanya.”
Air mata Andrian hampir tumpah. Ia menceritakan segalanya tentang tuntutan Elsa, tentang bagaimana ia merasa terjebak dalam pernikahan yang kosong.
“Apa yang harus aku lakukan, Pak? Aku sudah lelah. Aku ingin keluar dari semua ini.”
Pak Dhanu menatapnya dalam. “Ceraikan dia. Saat ini juga.”
Andrian tertegun. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar hatinya. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa bahwa itu adalah satu-satunya jalan.
***
Malam itu juga, Andrian pulang dengan tekad bulat. Saat ia tiba di rumah, Elsa sedang duduk di ruang tamu, asyik dengan ponselnya.
“Aku ingin bicara,” kata Andrian tegas.
Elsa meliriknya sekilas. “Kalau soal uang lagi, aku capek mendengar keluhanmu.”
“Ini bukan soal uang, Elsa. Aku ingin kita berpisah.”
Elsa terdiam. Sekian detik berlalu sebelum ia tertawa sinis. “Kau bercanda, kan?”
“Tidak. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi. Aku ingin kembali kepada keluargaku yang sesungguhnya.”
Wajah Elsa memerah. “Kau tidak bisa seenaknya menceraikanku! Aku sudah mengorbankan segalanya untuk pernikahan ini!”
“Apa yang kau korbankan, Elsa? Kau tak pernah memberi, hanya menuntut. Aku sudah cukup bersabar. Ini keputusan final.”
Amarah Elsa meluap, tetapi Andrian tak peduli. Malam itu juga, ia pergi meninggalkan rumah yang selama ini terasa seperti penjara baginya. Ia kembali ke rumah Bapak angkatnya, kembali ke tempat di mana hatinya merasa damai.
Esoknya, Andrian mengajukan gugatan cerai. Meski Elsa sempat mengancam dan berusaha menuntut hartanya, Andrian tak lagi peduli. Ia ingin menata hidupnya kembali, bersama ibu dan anak-anaknya yang telah lama ia abaikan.
Dalam perjalanannya pulang ke rumah Bapaknya, angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang telah lama hilang. Di sanalah, di bawah langit Palembang yang gelap namun menenangkan, Andrian akhirnya menyadari satu hal, cinta sejati bukanlah tentang kemewahan, tetapi tentang ketulusan dan penerimaan. Cinta tak bertepi bukanlah cinta yang dipenuhi tuntutan, melainkan cinta yang tumbuh tanpa syarat.***