Ketulusan Cinta

Ilustrasi Ketulusan Cinta/S_Marzy
OPINIJATENG.COM-Andrian duduk di teras rumah ibunya, memandangi hamparan sawah yang menguning di kejauhan. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, membawa serta kenangan pahit yang masih menghantuinya. Penyesalannya terhadap perlakuan kepada ibunya, Ningsih, masih terasa menusuk di hati. Setahun ia mengabaikan wanita yang telah melahirkannya demi mengejar cinta Elsa, yang kini telah menjadi masa lalu. Ia telah kembali, meminta maaf, dan berharap bisa menebus kesalahannya. Namun, perasaan bersalah itu masih belum sepenuhnya sirna.
Suatu malam, Andrian memberanikan diri untuk berbicara dengan ibunya. Ia menemukan Ningsih sedang duduk di ruang keluarga, merapikan pakaian anak-anaknya.
“Bu…,” panggilnya lirih.
Ningsih menoleh, menatap putranya dengan lembut. “Ada apa, Nak?”
Andrian menarik napas dalam. “Aku ingin minta maaf, Bu. Aku sudah banyak menyakiti Ibu. Aku meninggalkan Ibu demi seseorang yang bahkan tak mau menerima anak-anakku. Aku begitu buta hingga mengabaikan orang yang selalu mencintaiku tanpa syarat.”
Ningsih meletakkan pakaian yang dilipatnya, lalu menatap Andrian dengan mata berkaca-kaca. “Nak, seorang ibu tidak pernah menyimpan dendam pada anaknya. Ibu hanya ingin melihatmu bahagia. Kalau sekarang kau sadar dan ingin kembali, itu sudah cukup bagi Ibu.”
Andrian menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir jatuh. “Tapi aku terlalu egois, Bu. Aku tak pernah berpikir betapa berat beban Ibu harus mengurus anak-anakku sendirian. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.”
Ningsih tersenyum, lalu mengulurkan tangannya, menggenggam tangan putranya erat. “Tidak ada yang terlambat, Nak. Yang penting sekarang kau ada di sini, bersama anak-anakmu. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu.”
Andrian tak bisa menahan diri lagi. Ia meraih tangan ibunya dan mengecupnya penuh haru. “Terima kasih, Bu. Aku janji tidak akan mengecewakan Ibu lagi. Aku akan menjadi ayah yang lebih baik untuk anak-anakku.”
Ningsih mengusap kepala putranya dengan penuh kasih. “Ibu percaya padamu, Nak. Semoga Allah selalu membimbing langkahmu.”
Proses perceraian Andrian dengan Elsa di Pengadilan Agama masih berlangsung. Elsa tidak menerima begitu saja atas keputusan cerai Andrian. Ia menuntut tunjangan yang besar.
“Berikan saja, Nak,” kata Pak Dhanu, ayah angkatnya.
“Tapi Elsa sudah keterlaluan, Pak. Dia tak ada rasa Syukur,” ucap Andrian.
“Harta bisa dicari, yang terpenting sekarang kebahagianmu dan anak-anak,” ujar lelaki tua itu sambil meletakkan kacamata bacanya.
“Bapak yakin dalam satu tahun, kamu bisa mendapatkan lebih,” lanjut Pak Dhanu sambil mengisap cerutunya.
“Baik, Pak. Saya akan menuruti permintaan Elsa,” kata Andrian.
“Perbaiki hubunganmu dengan Tuhanmu, dengan ibumu, dan juga anak-anakmu. Anggap jalan hidupmu sebagai cobaan untuk mencapai kemuliaan,” nasehat Pak Dhanu.
Sejak saat itu, Andrian mulai aktif dalam kegiatan sosial bersama ayah angkatnya. Mereka membangun masjid dan sekolah-sekolah untuk masyarakat kurang mampu. Selain itu, Andrian juga mulai mendalami ilmu agama, mencoba memahami arti hidup yang sesungguhnya.
Hari demi hari, ia berusaha menata ulang kehidupannya. Ia bekerja sambil mengurus anak-anaknya yang selama ini dirawat oleh ibunya. Perlahan, ia merasa hidupnya lebih terarah. Namun, ada satu hal yang masih belum ia pikirkan: menikah lagi.
Banyak orang menyarankan agar ia mencari pendamping baru, seseorang yang bisa mendampinginya dan mengasuh anak-anaknya. Tetapi, Andrian masih ragu. Ia ingin memastikan bahwa hatinya benar-benar siap sebelum membuka lembaran baru.
Suatu sore, saat ia sedang bermain dengan anak-anaknya di teras rumah, ibunya duduk di dekatnya dan tersenyum hangat.
“Nak, jangan takut untuk kembali mencintai. Hidup ini masih panjang. Temukan seseorang yang bisa membuatmu bahagia, tapi kali ini, pastikan dia bisa mencintaimu dan anak-anakmu dengan tulus.”
Andrian mengangguk, merenungi kata-kata ibunya. Ia tahu, perjalanannya masih panjang, tapi ia juga tahu, kali ini ia tidak akan berjalan sendiri. Ia telah menemukan kembali cinta yang sejati—cinta seorang ibu dan anak-anaknya. Ketulusan cinta mereka cukup sebagai langkah awal menuju kehidupan yang lebih baik.***