WhatsApp Image 2025-04-13 at 11.49.15

Ilustrasi Asal Mula Sungai Serayu dan Sungai Luk Ulo/Dedy Purwono

OPINIJATENG.COM-Kilat menyambar, petir menggelegar. Air hujan seolah ditumpahkan.

Langit malam yang gelap, terasa semakin pekat. Udara dingin, seolah hendak menusuk tulang.

Akan tetapi, walau cuaca tidak bersahabat, bailairung Kerajaan Astina terlihat terang-benderang. Seratus Kurawa, Mahapatih Sengkuni, dan Resi Durna, dan para pembesar Kerajaan Astina nampak memadati balairung. Wajah mereka menampakkan raut muka serius. Ada apa gerangan?

“Tadi sore, aku menerima sepucuk surat dari Yudhistira,” begitu Duryudana, sang sulung Kurawa, memulai pembicaraan.

“Apa isi suratnya Sang Prabu,” Mahapatih Sengkuni memberanikan diri bertanya.

“Pandawa meminta hak atas tahta Astina,” jawab Duryudana dengan nada berat.

“Saya sudah menduga. Bukankah mereka sudah menjalani dua belas tahun masa pengasingan di Hutan Kamiaka. Mereka juga sudah berhasil menyamar selama satu tahun tanpa kita mengendus keberadaannya. Konon, mereka berlindung di Negeri Wirata,” Resi Dorna menimpali.

“Benar.sesuai janji tiga belas tahun lalu, kita memang harus menyerahkan Kerajaan Astina pada Pandawa. Tapi, apa kita semua rela?” sambil menghembuskan napas berat, Duryudana melontarkan pertanyaan yang langsung menghujam di lubuk hati Para Kurawa dan Pembesar Astina.

Semua hadirin terdiam. Tak ada yang berani bersuara. Sampai akhirnya, Mahapatih Sengkuni menyampaikan pendapatnya, “Bagaimana kalau kita adakan lomba. Jika Pandawa menang, mereka berhak atas Astina, tetapi jika mereka kalah, mereka harus kembali mengembara.”

“Akan tetapi, untuk menguji kepantasan kalian memerintah kerajaan yang begitu besarnya, aku mengajukan sebuah ujian,” Duryudana memulai strategi liciknya.

“Ujian apa yang kau maksud wahai Duryudana?” Yudhistira bertanya.

“Ujian kecakapan membangun sungai. Bukankah negeri yang besar butuh sungai yang panjang dan lebar agar rakyatnya bisa hidup makmur dari pertanian? Nanti Pandawa dan Kurawa berlomba, yang menang berhak atas Tahta Astina,” pancing Duryudana.

“Baiklah, aku setuju. Bagaimana tekniknya?” Arjuna dari pihak Pandawa ajukan tanya.

“Pertama-tama, kita akan mengundi dulu. Berapa perwakilan yang akan mengikuti ujian. Undian yang satu bertuliskan ‘satu orang’ undian yang satunya lagi bertuliskan ‘seratus orang,’ bagaimana?” papar Duryudana.

Para Pandawa saling pandang. Mereka teringat kelicikan Duryudana tiga belas tahun yang lalu.

“Agar adil, pihak Pandawa boleh mengambil undian lebih dulu, nanti kita buka bersama-sama,” lanjut Duryudana.

Walau merasa janggal, sebagai orang-orang berjiwa ksatria, Para Pandawa mengiyakan tantangan Kurawa.

“Silahkan Kanda Yudhistira mengambil undian lebih dulu,” Duryudana menyodorkan kotak undian. Yudhistira mengambil salah satu.

“Mari kita buka bersama-sama, satu, dua tiga,” seru Duryudana.

“Aku dapat yang seratus orang!” Duryudana berteriak kegirangan. Sedangkan Yudhistira yang dapat undian satu orang tertunduk lesu.

Sebenarnya, undian yang disediakan Duryudana semua bertuliskan satu orang. Akan tetapi, saat orang-orang lengah, Duryudana mengganti undian yang diterima dengan undian yang bertuliskan seratus orang.

“Besok, perlombaan membuat sungai akan kita mulai. Silahkan Kanda Yudhistira menentukan siapa yang akan mewakili Pandawa. Karena kami Kurawa pas seratus orang, jadi kami tidak perlu memilih lagi,” ujar Duryudana, walau dengan nada yang dihalus-haluskan, tetapi disertai seringai licik.***

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *