OPINIJATENG.com-Sore ini aku baru pulang dari dinas keluar kota. Ketika pertama kali masuk rumah, pandanganku langsung terpaku pada benda asing yang terpasang di dinding. Aku menatapnya tak berkedip.
Lima tahun menikah belum pernah kami memiliki benda ini. Berkeinginan pun tidak.Sebuah lukisan. Apalagi lukisan bergambar wanita yang konon katanya tercantik sedunia. Sekali lagi kulirik lukisan itu, kemudian aku beranjak masuk kamar dan membersihkan diri dengan dada bergemuruh.
Kuletakan secangkir teh hangat di atas meja perlahan. Aku duduk dengan tangan bersandar di kursi dan mataku tak lepas menatap lukisan itu. Ada yang aneh. Kenapa tiba-tiba suamiku membeli lukisan ini? Aku tahu lukisan ini palsu dan harganya tidak mahal. Namun, bukan itu yang aku pikirkan. Kok tega suamiku mengganti foto pernikahan kami dengan Monalisa. Kugelengkan kepala tidak mengerti dengan kejutan ini.
Mataku tak berkedip menatap lukisan itu. Wanita berpipi tembem menatap sinis kearahku. Kedua alisku menyatu. Apa aku berhalusinasi? Aku berdiri dan kulipat kedua tanganku di dada. Kuamati lagi. Kedua mata Monalisa balas menatapku. Apa-apaan ini?
“Kenapa kamu sinis padaku, kita saling kenal?” tanyaku retoris. Tak mungkin lukisan itu menjawab. Setelah menatap marah ke arah monalis, aku meninggalkannya menuju kamar. Baru dua langkah, aku mendengar suara benda jatuh. Cangkir teh yang kuletakkan di atas meja tergeletak di lantai. Aku terperanjat melihat meja bergetar. Pandanganku langsung kearah lukisan.
“Maria yang memberi lukisan itu.”
Belum lepas rasa terkejutku, suara suamiku membuatku berjingkat. Maria. Itu nama mantan kekasih suamiku, bukan? Secepat kilat aku berpaling kearahnya dengan tatapan tajam.
“Dia meninggal bunuh diri setelah membuat lukisan itu. Wasiatnya, lukisan itu harus diberikan kepadaku.”
Suamiku tertunduk lesu. Aku menangkap ada rasa bersalah dan putus asa dalam ucapannya.
“Mengapa lukisan ini kamu letakan di ruang tamu dan lukisan pernikahan kita ada di ruang makan?” tanyaku kesal. Aku tidak peduli alasan kenapa lukisan itu menjadi penghuni rumahku.
Suamiku menghela napas panjang.
“Entahlah. Aku merasa lukisan itu terus menatapku selama ini. Aku merasa diawasi olehnya.”
Perlahan aku mengikuti pandangan mata suamiku. Kami berdua menatap satu titik yang sama. Kemudian kami bergenggaman tangan dengan erat. Lukisan itu menatap kami dengan mata marah tidak lagi tersenyum seperti semula. Mataku terbelalak dan kedua kakiku terasa terkunci.
***
Suara napas suamiku terdengar teratur. Seminggu tak bertemu membuat kami saling merindukan. Namun, mataku tak juga terpejam padahal rasa lelah sangat terasa. Perlahan aku bangun dari tempat tidurku. Kugerakkan kepalaku supaya sedikit rileks.
Kubuka pintu kamar dengan hati-hati supaya suamiku tidak terbangun. Rasa haus mendorongku keluar kamar di malam buta ini. Aku masih berdiri di depan kamar ketika sosok bayangan melewatiku dan melintas ke arah dapur. Kukerjapkan mataku tak percaya. Aku terpaku tak bergerak dengan mata menatap bayangan itu. Sosok itu berdiri di depan kulkas seperti tujuanku. Secepat kilat aku kembali masuk ke kamar ketika menyadari sosok itu mulai menggerakkan badannya akan berpaling ke arahku. Buru-buru kukunci kamarku, tetapi tanganku kaku tak bergerak.
Aku melompat kaget ketika lampu kamar menyala. Aku menunduk dengan keringat bercucuran.
“Kamu kenapa?” tanya suamiku dengan menyentuh bahuku.
“Ada hantu Monalisa di dapur,” jawabku terbata. Kutatap suamiku dengan ketakutan.
“Becanda. Hari gini mana ada hantu. Sudah ah, tidur lagi.
Suamiku menuntunku ke ranjang. Aku masih membisu, rasanya malas sekali berdebat. Begitu berbaring suamiku kembali terlelap dengan tangan memelukku. Kupegang erat tangannya yang berada di atas tubuhku. Entahlah, aku sangat ketakutan malam ini.
Aku masih bergelung dengan selimut ketika suamiku membangunkanku untuk salat subuh. Mala kubuka mataku, suamiku terlihat segar dan wangi.
“Subuh dulu, nanti tidur lagi,” bujuknya sambil mengusap tanganku lembut.
Aku menyingkap selimut, tetapi tubuhku masih mager untuk beranjak. Suamiku mengulurkan tangan dan menarikku untuk duduk. Dengan mata terpejam aku masuk kamar mandi untuk membersihkan diri.
“Kamu sudah ke dapur?” tanyaku sambil melipat mukena.
“Aku sudah buat roti bakat,” jawab suamiku. Matanya tidak lepas dari gawai.
“Semalam aku enggak bohong. Ada hantu Monalisa di dapur,” setengah berbisik aku mengatakan pada suamiku. Jujur saja aku tidak berani keluar kamar.
“Kamu masih ngantuk, jadi ngelantur lihat bayangan ga jelas.”
“Ya sudah kalau enggak percaya. Biar, kamu sendiri nanti yang ketemu dia,” tukasku kesal.
Kutarik lagi selimut melanjutkan tidurku. Suamiku beranjak keluar meninggalkan aku sendiri di kamar.
Sejak hari itu aku mengalami hal aneh. Ketika menjelang subuh setiap hari aku mendengar ada orang yang memasak kemudian tercium aroma wangi masakan. Aku yang sudah hafal dengan kegiatan itu sudah tidak ingin lagi membahas dengan suamiku karena ujungnya kami akan ribut jika membahasnya.
Namun, pagi hari ini aku tidak bisa tinggal diam. Aku berteriak marah ketika aku melihat kepulan asap dan bau gosong dari dapur.
“ Apa yang kamu lakukan? Kamu ingin membakar rumahku?” teriakku histeris. Suamiku berlari ke arahku dan melihat sekeliling dengan nada tanda tanya.
“Lihat kepulan asp itu, kamu lihat? Hantu itu akan akan membakar rumah kita,” teriakku kesal.
“Asap apa? Tidak ada asap di sini.”
“Kamu tidak melihatnya? Coba kamu cium bau gosong ini.”
Suamiku menatap dengan raut wajah kasihan kearahku. Digenggamnya tanganku kemudian diraihnya kursi untukku. Napasku turun naik menahan emosi. Kenapa kamu tidak percaya, keluhku dalam hati.
“Bukan aku tidak percaya dengan ceritamu. Makhluk tak kasatmata itu memang ada. Dunia kita beda dengan mereka. Kita tidak boleh terganggu dengan kehadiran mereka,” suara lembut suamiku mencoba membuat aku tenang.
Aku hanya menggelengkan kepala. percuma menjelaskan ini semua. Kuambil dompet dan pergi meninggalkannya. Jelas aku tidak ingin di rumah dan terganggu dengan kehadiran hantu itu.
Aku duduk termenung di restoran siap saji yang buka 24 jam. Kukirim pesan ke suamiku supaya dia tidak khawatir. Risa dan Andi berjalan ke arah tempat aku duduk.
“Mungkin kamu cemburu karena lukisan itu hadiah dari mantan pacar Dodi,” kata Risa sambil menarik kursi di depanku.
“Dia sudah meninggal,” sungutku.
“Serius?”
Aku mengangguk.
“Bunuh diri.”
“Hah…,” mata Risa terbelalak. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah Andi, suaminya.
“ Makanya, aku panggil kalian. Aku minta tolong suamimu untuk melihat lukisan itu. Aku terganggu dibuatnya.”
Andi yang aku tahu memang mempunyai kelebihan tentang hal seperti ini. Dia dapat melihat makhluk tidak kasat mata dan dapat berkomunikasi dengannya. Aku membujuknya supaya bersedia datang kerumahku secepatnya.
Akhirnya kami bertiga pulang kerumahku. Suamiku terkejut melihat kedatangan mereka. Aku jelaskan semua maksudku. Entah mengapa saat berbicara mataku melirik ke lukisan Monalisa itu. Matanya tajam seakan ingin menelanku. Tanpa takut aku balas menatapnya.
“Kamu berlebihan, Dian. Tidak ada apa-apa di rumah ini.”
“Itu karena kamu tidak diganggu. Coba tanya Mbak Dira, alasan dia keluar tidak mau lagi bekerja di rumah ini. Hantu itu mengganngunya.”
Suamiku mendengus kesal. Dia menarik napas panjang dan matanya beralih ke lukisan dan perlahan mengalihkan pandangan ke arah Andi.
Andi mengangguk dan meminta kami semua keluar dri rumah. Dia ingin berdua dengan lukisan itu. Cukup lama kami menunggu. Terus terang aku yang paling gelisah. Apa yang dilakukan Andi nanti seperti pembuktian buatku bahwa aku tidak berbohong dengan semua cerita yang aku sampaikan.
Andi keluar dengan wajah kusut. Ris segera menghampiri dan memberinya sebotol air putih yang dia bawa dari rumahnya.
“Bagaiman?” tanyaku tak sabar.
“Dia memang ada. Maria ada dilukisan itu,” jelas Andi. Pandangannya ke arah Dodi. “Kamu pasti sudah tahu cerita ini, Dod.”
Dodi membisu. Aku jadi penasaran.
“Maksudnya gimana? Aku enggak ngerti.”
“Maria belum ikhlas berpisah dengan suamimu. Maria merasa bersalah karena meninggalkan Dodi dan menikah dengan laki-laki lain. Suaminya kerap melakukan kekerasan. Hingga dia pergi dari rumah. Berulang kali Maria menghubungi suamimu, tetapi suamimu tidak pernah mau menemuinya,” jelas Andi.
“Lalu dia bunuh diri,” jawab suamiku pelan.
Aku bergeming dibuatnya. Sebuah cerita yang baru aku dengar. Dodi tidak pernah sedikitpun membahasnya setelah kami menikah. Aku mengenal Maria karena kami dulu satu kampus. Aku tahu hubungan mereka. Maria yang cantik dan pandai melukis harus menerima kenyataan dinikahkan oleh orang tuanya. Dodi tidak pernah bercerita alasan pernikahan Maria.
“Apa dia akan tetap di sini?” tanyaku pelan. Bergidik aku dibuatnya.
“Dia ingin tetap dirumahmu dan berjanji tidak akan mengganggumu lagi.”
“Kamu percaya sama janjinya setan? Lebih baik aku pergi dari rumah ini. Daripada terus dihantui oleh bayangan Maria.
Baru berapa langkah aku berjalan, aku kembali lagi dan menarik Risa ikut denganku. Mana berani aku masuk kamar sendirian. Tanpa menoleh ke lukisan itu, aku berjalan cepat ke kamar dan merapikan keperluanku untuk bekerja. Aku ingin tinggal di rumah orang tuaku.
Perlu waktu satu bulan buat suamiku membujukku pulang ke rumah. Dodi meyakinkan bahwa lukisan itu telah dikembalikan ke orang tua Maria. Namun, aku tetap sulit menerimanya. Sebenarnya aku tidak takut dengan bayangan hantu Maria, tetapi yang aku takutkan adalah suamiku akan selalu teringat dan merasa bersalah akan sosok Maria di rumah kami.
Hingga saat ini, suamiku tidak bercerita pengalaman apa yang dia lalui di rumah selama ada lukisan itu. Dia hanya meyakinkan bahwa sekali pun tidak pernah diganggu oleh Maria. Aku juga tidak mau memaksanya untuk menceritakan. Bagiku tidak banyak mengetahui kisah apa yang terjadi antara Maria dan suamiku itu lebih baik.***