18 November 2025 17:59

Menilik Tata Kelola Kebijakan Pada Masa Awal Pandemi Covid-19 di Indonesia dan India

0
WhatsApp Image 2021-10-26 at 14.51.17

Fitri Abidah Nur

OPINIJATENG.COM-Pandemi Covid-19 diawal kemunculannya banyak sekali mengandung perdebatan. Bukan hanya pada isu kesehatan __lebih dari itu__ isu sosial, ekonomi dan politik juga hadir mewarnai kehadiran wabah yang disinyalir berasal dari Wuhan, China. Dalam isu politik, keberlangsungan sistem politik mana yang paling relevan dan berhasil menangani krisis demi peradaban manusia saat ini dipertanyakan, mulai dari tipe rezim, demokrasi VS otoriter, dan juga kebijakan pemerintah yang cocok dan efektif dalam menangani wabah.

Dalam situasi ini, negara dipaksa untuk mengambil langkah-langkah strategis guna menangani dan merespon keadaan pandemi. Tentu masing-masing negara mempunyai cara yang berbeda dalam menanganinya. Ada negara yang siap menghadapi krisis, tak sedikit juga yang menunjukkan buruknya tata kelola dan kebijakan pemerintah dalam menyikapi situasi kedaruratan. Tulisan ini akan membahas bagaimana tata kelola Pandemi pada awal-awal munculnya Covid-19 pada dua negara, yakni India dan Indonesia.

BACA JUGA: Ternyata ini Perusahaan Startup Pilihan Maudy Ayunda

Di dalam laman hindustantimes.com dikatakan bahwa per 19 Juli 2020 angka Positif Covid 19 di India mencapai 1.116.597 kasus. Di India, Covid-19 pertama kali terdokumentasi pada 30 Januari 2020 yang diduga dibawa oleh warga India yang dievakuasi dari China. India sangat berani dalam menangani Covid-19 menggunakan langkah-langkah pro-aktif yang terdiri dari pengujian agresif yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang bekerjasama dengan negara bagian wilayahnya. Negara dengan mayoritas beragama Hindu itu berani mengambil langkah untuk mengunci negaranya (lockdown) dalam beberapa tahapan sejak 25 Maret 2020 untuk diberlakukan selama tiga pekan.

Lockdown sendiri membawa konsekuensi bagi diberhentikannya semua aktivitas, baik itu bisnis maupun transportasi publik. Akibatnya, eksodus besar-besaran terjadi di kota besar. Belum seminggu sejak lockdown ditetapkan, India mengalami banyak persoalan. Berbagai persoalan muncul ke permukaan dan berujung krisis kemanusiaan pasca pengumuman lockdown diberlakukan. Meskipun Pemerintah India mengumumkan bantuan stimulus ekonomi sebesar 260 Milyar kepada rakyatnya, tetapi dikarenakan tahapan skemanya belum jelas, jutaan pekerja informal dan pekerja migran kehilangan pekerjaannya. Kerusuhan terjadi akibat ratusan ribu orang memaksa untuk pulang kampung, kekerasan yang dilakukan oleh aparat marak terjadi, kasus kelaparan pun merajalela. Bahkan, tagar #ModiMadeDisaster sempat menjadi trending topic di twitter (International Growth Centre, 2020).

BACA JUGA: Akun WhatsApp Mantan Ketua KPID Jateng Budi Setyo Purnomo Dibajak, Waspada Penipuan

Guna menanggulangi dampak pandemi Covid-19, India menggelontorkan anggaran sebesar US$2,1 milliar untuk melengkapi fasilitas kesehatan. Dari anggaran tersebut, Departemen Sains dan Teknologi Pemerintahan India telah mengajukan skema untuk mempromosikan penelitian dan penemuan di lembaga-lembaga penelitian yang bekerja dalam pengendalian wabah ketika sedang dilakukan lockdown. Sebagai negara dengan populasi rakyat terbesar kedua di dunia, India menggabungkan berbagai pendekatan dalam mengatasi laju covid-19. Sekalipun menimbulkan efek kemanusiaan, lockdown dianggap membawa dampak signifikan bagi penekanan angka laju Covid-19.

Langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintahan India tersebut tidak bertahan lama. Proses penguncian tersebut selain menimbulkan dampak sosial, berdampak juga pada perputaran roda ekonomi sehingga India mulai melonggarkan kebijakan lockdown. Jika saat penguncian dilakukan selama bulan Maret-Mei 2020 kasus terkonsentrasi di kota-kota besar, pelonggaran lockdown berdampak pada mobilisasi penduduk India dari kota ke daerah pedesaan, yang berakibat pada penyebaran kasus Covid-19 di pedesaan. Pilihan kebijakaan untuk melonggarkan lockdown membuat kasus infeksi melonjak kembali dengan tajam. Memasuki bulan Agustus, kasus meningkat dan berkembang dengan cepat sehingga mencapai 75.000 kasus infeksi setiap harinya. Tercatat hingga pekan keempat Agustus (08/2020), India menjadi negara ketiga dengan catatan kematian tertinggi setelah Amerika Serikat dan Brazil dengan angka kematian mencapai 60.000 dan kasus terkonfirmasi sebanyak 3 juta kasus (Gettleman, & Yasir, 2020).

BACA JUGA: Alumni Guru Penggerak Banyak Diberi Ruang Gerak

Sementara di Indonesia, pemberlakuan kebijakan sosial berskala besar baru ditetapkan oleh Joko Widodo pada akhir Maret sebagai kelanjutan dari pembatasan social distancing dengan menggunakan Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2020 sebagai dasar peraturan. Kebijakan tersebut diambil karena penambahan kasus yang makin meningkat dari hari ke hari. Untuk menjaga stabilitas keuangan negara akibat krisis pandemi pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tanggal 31 Maret 2020 yang menjadi landasan hukum bagi penyesuaian anggaran dalam kondisi luar biasa, sekaligus justifikasi penambahan anggaran belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk menangani Covid 19, dengan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN tahun 2020 sebesar 405,1 triliun. Selain itu, dana sebesar 110 trilyun dialokasikan pemerintah untuk tambahan jaring pengaman social terkait Covid-19.

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilaksanakan setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2020, tanggal 31 Maret 2020, tiga minggu setelah kasus pertama diumumkan di Indonesia. Untuk DKI Jakarta sendiri PSBB baru diberlakukan pada hari pertengahan April 2020. Kemudian diikuti oleh berbagai kota besar lainnya (Tempo, 2020).

BACA JUGA: Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3

Pada awal terjadinya pandemi, ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk penanganan di Indonesia.

Pertama, lemahnya respon awal penangangan Covid-19. Hal tersebut bisa dilihat dari respon ‘santai’ yang ditunjukan oleh pejabat hingga menimbulkan sengkarut koordinasi diantara instansi pusat dan daerah. Krisis komunikasi yang terjadi mengakibatkan penaganan covid-19 di berbagai daerah tidak transparan dan terpadu. Kondisi tersebut terlihat dari berbagai penelitian yang menunjukan dis-trust yang ditunjukkan oleh publik kepada pemerintah.

Kedua, penegakan hukum yang belum optimal. Masyarakat banyak melanggar aturan dengan berbagai alasan. Pemberlakuan sanksi yang diterapkan masih banyak yang bersifat sanksi sosial dan belum diterapkan secara maksimal.

Ketiga, partisipasi warga masyarakat yang rendah. Partisipasi adalah faktor penentu efektivitas sebuah kebijakan. selain melakukan strategi test, trace and treat (lacak, uji dan obat), kesadaran warga negara sangatlah dibutuhkan.

BACA JUGA: Kekuatan untuk Berdzikir, Bersyukur, dan Beribadah adalah Karunia, Ini Doanya

Keempat, massifnya perkembangan berita hoax terkait Covid-19 di tengah masyarakat. Beredar massif jika Covid-19 adalah konspirasi yang dibuat segelintir pihak demi keuntungan golongan tertentu.

Simpulan

Penerapan restriksi wilayah secara ketat oleh India membawa dampak pada pengurangan penularan virus korona dan jumlah kasus yang dilaporkan. Namun, efektivitas penguncian tersebut bervariasi antar wilayah dan tergantung oleh banyak faktor, termasuk variable demografis, kepadatan penduduk, dan pertemuan sosial. Sementara itu, lockdown juga telah menimbulkan krisis kemanusiaan dan kekacauan baru akibat eksodus besar-besaran. Seiring berjalannya waktu, pelonggaran lockdown di India dilakukan demi menyelamatkan India dari dari jurang resesi. Hingga bulan Juni,(06/20) perekonomian India mengalami kontraksi dengan kecepatan terjal hingga 23,9% yang terjadi akibat lockdown diberlakukan (Reuters, 2020). Setelah lockdown dilonggarkan, angka kasus terkonfirmasi Covid-19 semakin meningkat di India.

Indonesia sendiri memilih untuk menerapkan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) guna menekan laju Covid-19, bukan menerapkan lockdown seperti yang dihimbau oleh WHO. Joko Widodo selaku Presiden menegaskan jika pemerintah daerah harus menerapkan kebijakan yang tidak bertentangan dengan protokol pemerintah pusat. Selain itu, Presiden membentuk satuan Gugus Tugas percepatan penangan Covid-19 guna mempermudah koordinasi pusat hingga ke daerah. Kebijakan tersebut dimulai oleh ibukota Jakarta dan diikuti oleh daerah lainnya. Jika lockdown mengharuskan penduduk untuk tidak keluar rumah sama sekali, PSBB masih memberikan ruang gerak bagi penduduk untuk melakukan aktivitas selagi tidak bertentangan dengan protokol kesehatan.

BACA JUGA: Susi Pudjiastuti Protes Terkait Harga PCR Melalui Akun Twitter-nya

Kedua negara ini mengalami kendala yang sama yakni rendahnya anggaran kesehatan. Implikasinya adalah baik Indonesia maupun India memiliki fasilitas kesehatan yang terbatas jika dibandingkan dengan rasio jumlah populasi penduduk. Meskipun begitu, jumlah testing di Indonesia kalah jauh dengan yang sudah dilakukan oleh India. Dari fenomena ini kita mengetahui, ternyata Indonesia “lambat” dalam menangani Pandemi Covid-19, sedangkan India terkesan “tergesa-gesa” dan memilih untuk lockdown sehingga kedua negara tersebut di awal-awal penangananya sangat banyak mengalami kendala diluar isu Kesehatan. Maka seharusnya pemerintah suatu negara bisa lebih bijak dalam menghadapi sebuah krisis atau kedaruratan. Tidak “panik” tetapi juga tidak terlalu “menganggap remeh” sehingga maksimalisasi suatu kebijakan bisa dicapai.

*) Fitri Abidah Nur,Mahasiswa Pasca Sarjana, Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia)***

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *