23.6 C
Central Java
Kamis, 19 Juni 2025

Belajar Kearifan dan Marwah dari Syekh Hatim Al-‘Asham

Banyak Dibaca

OPINIJATENG.COM – Bai para muhibbin atau pecinta Ulama, apalagi yang sering mengikuti majelis pengajian Habib Umar Muthohar, sosok ulama shufi, Syeikh Hatim Al-Asham (w. 237 H) yang dikenal tuli, padahal sebenarnya tidak tuli, tentu sudah mengenalnya. Di berbagai media juga banyak dikutip.

Dalam buku Qishash al-Auliya’: Kisah Para Kekasih Allah yang ditulis oleh Muhammad Khalid Tsabit, penulis buku best seller berjudul Ma’rifatu l-Auliya’,tokoh besar Syeikh Hatim Al-‘Asham ini ditempatkan pada bab I dengan judul Budi Luhur Para Kekasih Allah, bersama enam para Wali Allah, Ahmad bin Mahdi, Fairuz Ad-Dailami, Ummu Muhammad al-Qabilah, ‘Ali Zainal ‘Abidin, Abu Al-Fadhl Yusuf bin Muhammad yang dikenal dengan Ibnu An-Nahwi, dan Bilal bin Sa’ad (h. 13-23).

Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Rahman Hatim bin Alwan. Beliau pernah mengunjungi Baghdad (Irak) dan menetap di kota itu hingga akhir hayatnya. Imam Hatim wafat di Wasyjard, dekat Kota Tarmidz, pada tahun 237 H (852 M). Hatim Al-‘Asham adalah ulama yang sangat santun dan dikenal dermawan (R.H. Siregar, 17/7/2020).

BACA JUGA:Asah Kesabaran Merawat Orangtua

Al-‘Asham sebenarnya tidak tuli, tetapi demi menjaga kehormatan orang lain, ia berpura-pura tuli. Dalam versi Qishash al-Auliya’, disebutkan kala Syeikh Hatim sedang mengajar di hadapan santrinya, ada seorang perempuan dating menemuinya untuk bertanya.Di tengah percakapannya dengan Hatim, tiba-tiba bunyi keras kentut keluar darinya. Merah padamlah muka perempuan itu, karena perasan sangat malu. Syeikh Hatim pun mendadak memegang-megang kedua telinganya, dan mengatakan: “Keraskan suaramu, aku tak dapat mendengar ucapanmu. Tolong keraskan ucapanmu”.

Rupanya dengan dua kalimat itu, si perempuan yang boleh jadi karena tidak mampu lagi menahan kentutnya itu, kemudian merasa nyaman lagi, karena ia merasa yakin, bahwa Syeikh Hatim Al-‘Asham tidak mendengar suara kentutnya. Sejak itulah, Syeikh Khatim dikenal dengan Al-‘Asham.

BACA JUGA:Nur Khoirin: BP4 Harus Hadir di Setiap Kecamatan dan Desa, sebagai Bengkel Keluarga

Kutipan dari misah Syeikh Hatim Al-‘Asham di atas ini menarik, boleh jadi bagi orang awam, adalah urusan sepele, akan tetapi bagi seorang Ulama yang di dalam dirinya pantang untuk  menurunkan rasa kehormatan orang lain, meskipun hanya soal urusan remeh temeh. Tetapi menjaga marwah dirinya dan orang lain, seorang Ulama merasa “harus” melakukan sikap pura-pura tulis, karena ingin menjaga kehormatan dan marwah orang lain.

Artinya, jika terhadap “aib” orang lain yang sangat kecil saja dijaga dan seakan tidak mau mengetahuinya yang dilakukan dengan cara berpura-pura tuli, bahkan hingga dikenal dengan sebutan Al-‘Asham, tentu ini semacam “pertaruhan harga diri” yang  luar biasa. Syeikh Hatim rela disebut orang yang tuli, dari pada orang perempuan lain yang di hadapannya, merasa tidak nyaman (unsecure) karena sedang dalam perbincangan langsung.

Lebih tegas lagi Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat (49):11: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat, 49:11).

Dalam Bahasa Rasulullah saw, “barangsiapa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka bertutur-katalah yang benar atau diamlah, barangsiapa orang yang beriman, muliakanlah tetangganya, barangsiapa orang yang beriman, muliakanlah tamunya” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah saw juga mengingatkan: “Barangsiapa menutup (‘aib/kekurangan/kekhilafan) orang Islam lain, maka Allah akan menutup (‘aib/kekurangan/kekhilafan)-nya di dunia dan di akhirat” (Riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

BACA JUGA:Omicron Masuk RI, Masyarakat Lebih Berhati-Hati Saat Libur Nataru

Itulah pelajaran kearifan dari seorang ulama sufi, yang ingin menjaga marwah dan kehormatan orang lain. Boleh jadi kita belum mampu bersikap dan bertindak seperti Syeikh Hatim Al-‘Asham, tetapi mari kita berusaha untuk menjaga dan mengevaluasi (muhasabah) pada diri kita, sebelum kita membuka aib orang lain, sementara aib diri sendiri, ditutup oleh orang lain dan Allah ‘Azza wa Jalla. Semoga kita mampu mengambil pelajaran kearifan dan menjaga marwah orang lain. Karena orang yang menghormati orang lain, maka orang lain pasti akan menghormati kita. Allah a’lam bi sh-shawab.

*) Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., Wakil Ketua Umum MUI dan Direktur LPPOM-MUI Provinsi Jawa Tengah, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum dan Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Rumah Sakit Islam-Sultan Agung, Koordinator Wilayah Indonesia Tengah Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat, dan Anggota Dewan Penasehat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Pusat.

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer