Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINI JATENG –
Dan apa yang terjadi selanjutnya?
Lita tersenyum sendiri mengingat kenangan itu.
Lita tidak pernah membuat laporan baca.
Laporan itu akhirnya dibuatkan oleh Joko.
Betul juga.
Laporan itu akhirnya mendapat nilai A dari Bu Susi.
Dan imbalannya?
Lita harus mau diajak traktir bakso oleh Joko.
Dan berita Joko berhasil nraktir Lita jajan bakso itu segera tersebar ke segala penjuru sekolah.
BACA JUGA:Kapal Pesiar: Manjakan Penumpang bagaikan Surga Dunia
BACA JUGA:Kapal Pesiar : Manjakan Penumpang bagaikan Surga Dunia (2)
Pada waktu SMA Lita memang menjadi salah satu “bunga” sekolah.
Jadi rebutan siswa laki-laki.
Maka, dari traktir makan bakso itu, Joko boleh dianggap sebagai pemenang persaingan untuk memperebutkan perhatian Lita.
“Kok malah melamun?” Iben mengejutkan Lita dengan pertanyaan yang tiba-tiba.
“Eh, oh,..gak lah,” agak geragapan juga Lita menjawab.
Iben tidak bertanya lagi.
Matanya melirik Lita yang agak salah tingkah.
Tapi dia tidak meneruskan bertanya.
Kembali sibuk dengan laptop dan buku-bukunya.
Begitu pula dengan Dodit.
Sama sekali tidak bersuara.
Dia terlihat serius terserap oleh buku tebal yang dibacanya.
Lita masih senyum-senyum sendiri mengingat kenangannya sewaktu masih SMA.
Menyadari dia sedang berada di depan dua orang mahasiswa yang asyik terbenam dalam bacaan bukunya, Lita akhirnya juga mencoba membuka buku yang ada di tangannya.
Dasar tidak suka membaca, buku itu akhirnya digeletakkan saja di atas meja.
Lita hanya diam membisu.
Pandangan matanya menyapu sekeliling ruang baca.
Lama-lama bosan juga.
Lita mulai gelisah duduk di kursinya.
“Kenapa? Mulai bosan ya?” tanya Iben, sejenak melepaskan pandangan matanya dari layar laptop.
Matanya memandang Lita.
Mulutnya tersenyum.
“Uh, ternyata tempatku memang tidak di sini,” keluhnya.
“Kan aku tadi sudah ngomong?” kata Iben santai.
“Ya. Kalau begitu, aku turun sebentar ya? Aku carikan kalian minum dan makanan kecil. Jadi kalian kerja tidak hanya ngaplo begini.” Berkata begitu, Lita langsung bangkit dari kursi, meraih tas kainnya yang tergeletak di atas meja.
“Asyik, saya pesen jus apel dan kue-kue kering saja ya, tante.” Tiba-tiba Dodit menyela.
“Dasar perut karung beras..” gerutu Iben, menoleh ke arah Dodit.
“Oke, Dit. Kamu pesen apa, Ben?” tanya Lita.
“Atas nama kesetiakawanan, sama dengan Dodit, dong.” jawab Iben, setengah bercanda.
“Dasar perut karung jagung..” ejek Dodit, sambil membekap mulut sendiri menahan tawa.
Iben hanya menyikut pinggang Dodit.
Mereka berdua tertawa pelan.
Lita tidak perlu menunggu lagi.
Langsung berjalan ke arah tangga.
BACA JUGA: Wajah Baru Stadion Jatidiri, Ganjar Pastikan Tahun 2022 Siap Pakai
Turun ke lantai dasar.
Di lantai dasar ada kafe mahasiswa yang menyediakan hampir semua kebutuhan mahasiswa dan dosen yang sedang berkunjung ke perpustakaan.
Di kafe, Lita pesan tiga cup besar jus apel dan beli beberapa bungkus kue.
Setelah pesanan siap, Lita tidak langsung naik ke atas.
Lita minum jus apelnya sambil duduk di kursi yang disediakan di dalam kafe.
Sambil menikmati dingin dan segarnya jus apel, dia melihat lalu lalang mahasiswa-mahasiswi yang keluar masuk perpustakaan.
Terkadang dia tersenyum sendiri bila yang lewat di depan kafe itu mahasiswa dengan dandanan dan gaya yang aneh.
Anak muda sekarang ini memang macam-macam gaya dan penampilannya.
Ada yang pakai celana jins rombeng, sobek di paha dan dengkul.
Ada yang mengecat rambut dengan warna warni menyolok.
Merah, biru, ungu. Ada yang rambutnya gondrong pakaiannya dekil, seperti tak pernah mandi.
Tapi juga ada yang rapi, bersih, trendy.
Cewek-ceweknya berpakaian modis dan cantik-cantik.
Dia berpikir, berarti Iben termasuk anak muda yang tidak neko-neko.
Walaupun ayahnya pejabat negara, banyak uang, tetap tampil bersahaja apa adanya.
Bahkan cenderung menutupi keadaan yang sesungguhnya.
Lita melirik arloji yang melingkari lengan kirinya.
Sudah pukul sembilan.
Katanya Iben ada kuliah pukul sepuluh.
Lita lalu naik kembali ke atas.
Ke lantai tiga, ruang baca.
Naik tangga tiga lantai cukup melelahkan kakinya.
Di ujung tangga, dia berhenti sejenak.
Mengatur nafas.
Lita melihat ke arah meja Iben.
BACA JUGA:Jadikan Harta sebagai Budakmu
Kebetulan Iben juga melihat ke arah tangga.
Lita melambaikan tangannya.
Iben segera bangkit dari duduk, berjalan cepat menghampirinya.
Tas plastik berisi jus apel dan kue-kue kering diambilnya dari tangan Lita.
Lalu mereka berdua berjalan kembali ke arah meja.
Dodit pun ikut berdiri menyambut keduanya.
“Capek ya, tante.” tanyanya.
“Lumayan, Dit. Lama tak pernah olahraga. Naik tangga tiga tingkat saja sudah ngos-ngosan.” kata Lita masih mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
“Sudah, sekarang duduk saja,” kata Iben, membuka tas plastik, “kok jusnya cuma dua?” tanyanya.
“Ya, itu untuk kalian berdua. Aku sudah minum di bawah tadi,” jelas Lita.
Lalu lanjutnya, “kamu ada kuliah pukul sepuluh, kan? Kalau begitu, aku mau jalan-jalan dulu. Menghabiskan waktu di Simpanglima. Waktu makan siang aku pulang.”
“Baiklah, hati-hati ya. Sampai ketemu di rumah, sore nanti.”
Iben masih tetap tampak serba kagok.
Tidak pernah memberikan sebutan atau label apa pun pada diri Lita.
Bahkan menyebut nama juga baru sekali saat memperkenalkannya pada Dodit, tadi.
Lita tersenyum.
Tangannya terangkat.
“Daa, Iben. Daa, Dodit.”
“Daa,” kata Iben.
“Daa, tante.” kata Dodit.
BACA JUGA:Ustadz Adi Hidayat: Salat Tidak Membuat Kita Kaya, Begini Penjabarannya
Lita berjalan pelan menuju tangga.
Iben dan Dodit melihat dari belakang.
Rambut Lita yang diikat ekor kuda bergerak-gerak mengikuti gerakan tubuhnya yang berjalan makin jauh.
Akhirnya tubuh Lita menghilang di balik turunan tangga yang makin ramai dengan banyaknya mahasiswa-mahasiswi yang datang dan pergi ke dan dari ruang baca.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***