27.9 C
Central Java
Senin, 16 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 28

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

“Tok… Tok… Tok… “

“Siapa?” tanya Ikang yang sedang sibuk membereskan dokumennya.

Tanpa menunggu perintah, orang itu membuka pintu kamar Ikang yang tidak terkunci.

“Aku.” Iben muncul dari balik pintu dan melangkah masuk.

“Hei… Hei… Stop! Kamu belum aku persilakan masuk,” Ikang terlihat kaget dan buru-buru menyelesaikan pekerjaannya.

“Kakak sedang apa?” tanya Iben yang heran melihat kakaknya gugup.

“Sedang buru-buru, ada apa?” jawab Ikang yang kemudian mengambil jaket kesayangannya.

“Kakak tahu ‘Je-Je’? Dia satu kampus dengan kakak kan?” tanya Iben.

BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 24
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 23
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 22
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 21

Ikang hanya diam memandangi Iben. “Jack Johnson. Penulis itu, maksudmu?”

“Iya…” Iben makin antusias.

“Oh, orang aneh itu,” jawab Ikang santai.

“Apa kakak mengenalnya?”

“Tidak, tidak ada yang mengenalnya.”

“Ada tugas kuliah, aku…”

Belum selesai Iben berbicara, Ikang sudah memotong, “Tapi aku punya buku-bukunya, Akan aku pinjamkan, sekarang keluar dari kamarku karena aku harus pergi.”

Ikang menarik adiknya untuk keluar dari kamar dan kemudian menguncinya dari luar.

“Kenapa dikunci kak?” Tanya Iben heran.

“Aku tidak ingin adikku mengobrak-abrik kamarku hanya untuk menemukan sebuah buku.”

“Kakak mau ke mana?”

“Ngedugem, lagi kangen sama kafe lokal.”

Iben tidak bisa menghentikan kakaknya karena dia tidak punya alasan untuk melakukan hal itu.

“Tidak pernah berubah,” ucap Iben dalam hati.

Iben melewati kamar Ibas yang tertutup rapat dengan lampu menyala.

Sekarang ada dua kamar yang lampunya selalu menyala di malam hari.

Iben tidak ingin mengganggu Ibas karena Iben tahu kakaknya sedang sibuk menyiapkan album terbaru.

Iben meneruskan langkahnya ke kamar ibunya.

Kamar di mana dia akan membangun mimpi bersama kenangan sang ibu.

Sementara itu, Ikang sudah duduk di kafe, sendirian.

Malam ini dia memang ingin menyendiri.

Ingin menikmati kesepian yang terkadang memberikan sentuhan rasa aneh pada dirinya.

“Orange juice,” kata Ikang memesan minuman.

Dia duduk di pojok ruangan yang agak gelap dan mengamati suasana sekitar.

Orang-orang asyik dengan dunianya sendiri dan yang ada di dalam pikirannya adalah bersenang-senang sampai pagi.

Tempat ini sudah sering Ikang kunjungi bersama ‘geng’ teman-temannya, sejak dia SMA.

Karena mempunyai banyak teman yang buruk adat, suka begadang dan hura-hura, membuat ibu dan adik-adiknya berpikir Ikang adalah anak yang buruk.

Ikang telah masuk ke dalam dunia yang gelap dan tak tertolong lagi.

Setelah tinggal di Amerika, Ikang semakin bebas dan tidak terkontrol.

Ikang tidak peduli dengan siapapun dan apapun tanggapan orang lain kepadanya.

Yang dia tahu hanyalah harus selalu berkata ‘Iya’ pada ayahnya.

“Ayah…?”

Ikang tertegun melihat sosok yang sangat dia kenali, Theo.

Dia sedang duduk bersama beberapa lelaki setengah umur dengan ditemani pula beberapa wanita muda cantik dan seksi.

Entah apa yang sedang mereka bicarakan.

Dari kejauhan Ikang bisa melihat bagaimana genitnya para wanita muda itu bersikap melayani para lelaki setengah tua itu.

Ikang tersenyum.

Begitulah tujuan Ikang selama ini, berada di tempat yang tidak seharusnya dia berada agar tidak menjadi seseorang yang tidak dia inginkan.

Dari kuliah yang didapatnya, Ikang tahu lobby-lobby informal sangat penting untuk menuju negosiasi.

Ikang juga paham, hasil akhir dari negosiasi bisa berupa kolaborasi tapi bisa juga konspirasi.

Di sudut ruangan yang gelap, lagi-lagi Ikang tersenyum sendiri. (Bersambung)

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer