25.8 C
Central Java
Minggu, 22 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 65

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

Bagian 10
MENCIPTA BAYANG-BAYANG

Kematian ibu Lita ternyata memberikan pengaruh emosional yang sangat dalam bagi Iben.

Di mata Iben, Lita seperti dirinya yang berada dalam situasi jatuh mental karena ditinggal pergi selamanya oleh sosok seorang ibu.
Iben merasakan sendiri, bagaimana pedihnya kehilangan ibu.

Oleh karena itu, melihat kondisi Lita yang “terjerembab” jatuh saat ibunya meninggal, ada perasaan empati muncul di diri Iben.

Dia merasa kasihan.

BACA JUGA:Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 60

Dia merasa sudah seharusnya memberikan empati.

Sudah semestinya menghibur Lita, sekadar untuk mengurangi kepedihan hatinya.

Bagi Lita, perubahan sikap Iben juga terasakan sebagai sesuatu yang menakjubkan.

Selama ini, Iben sangat ketus, dingin, tidak peduli.

Bahkan cenderung sinis dan menghina pada Lita.

Tetapi sejak mengantarnya pulang ke kampung, dan kemudian ternyata menyusulnya untuk mengajak pulang, lalu sikapnya terakhir saat dia mengunci diri di kamar, menyadarkan Lita, bahwa mulai ada perubahan pada diri Iben.

Es batu itu mulai mencair.

Matahari mulai hangat bersahabat.

Dan Lita harus memanfaatkan moment perubahan ini sebaik-baiknya.

Masa depannya di rumah ini memang ada di tangan Iben.

Kalau selama ini Iben yang pegang kendali, saatnya kini dia merebut kendali itu.

Berpikir demikian, Lita menjadi tersenyum sendiri.

Hari ini hari Minggu.

Theo tidak pulang akhir minggu ini.

BACA JUGA: Profil Gus Yahya Ketua Umum PBNU Periode 2021-2026

Kemarin bilang ada acara kunjungan kerja ke Balikpapan, Kalimantan.

Lita sekarang tidak terlalu ambil pusing tentang kepulangan Theo.

Pulang atau tidak, bagi Lita tidak membawa pengaruh apa-apa.

Ketika Theo bilang tidak pulang minggu ini, Lita hanya menjawab, “Oke. Hati-hati di jalan.”

Tak kurang tak lebih.

Di hari Minggu ini, Lita bangun cukup pagi.

Sekitar pukul lima dia sudah rapi.

Dia mendengar Mbok Siti sudah sibuk bekerja membersihkan rumah.

Terdengar suara Mbok Siti dari kamar pribadi Ipo.

Lita melangkah menuju kamar Ipo.

Pelan membuka pintunya. Mendengar pintu berderit pelan, Mbok Siti yang sedang menyapu berhenti sejenak.

Menoleh ke arah pintu.

“Oh, Neng Lita. Tumben sepagi ini sudah bangun, Neng,” sapanya sambil tersenyum lebar.

“Iya, Mbok. Bangun pagi ternyata terasa sangat segar di badan,” balas Lita juga tersenyum lebar.

Lita melihat berkeliling kamar.

Lalu dia memegang vas bunga yang terletak di atas meja rias.

Vas bunga itu mungil saja.

BACA JUGA:Gus Yahya : NU Memiliki Dua Agenda Besar

Hanya ada tiga tangkai bunga sedap malam, yang sudah mulai layu.

Meja rias itu masih lengkap dengan berbagai kosmetik yang tertata rapi.

“Bunga sedap malam ini mulai layu, Mbok. Sebaiknya diganti yang baru, yang masih segar. Biar kamar ini tetap segar dan wangi,” katanya sambil mengangkat vas bunga itu.

“Sst, Neng. Kamar ini tidak boleh diutak-atik oleh siapa pun. Saya hanya bertugas membersihkan saja. Selain itu tidak boleh. Semua harus tetap berada pada posisi semula. Tidak boleh bergeser sejengkal pun. Makanya, hati-hati meletakkan kembali vas bunga itu. Jangan sampai berubah dari posisi semula.”

Mbok Siti memberi penjelasan, tangannya setengah menutupi mulutnya, seperti orang yang takut bicaranya didengarkan orang lain.

“Maksud Mbok, Iben yang melarang Mbok ngutak atik isi kamar ini?” Lita mencoba menegaskan.

“Iya. Den Iben bilang tidak boleh ada orang lain memakai kamar ini. Tidak boleh ada orang lain mengutak atik isi kamar ini. Termasuk bunga di vas itu. Den Iben sendiri yang rutin menggantinya bila telah layu.” Mbok Siti sepertinya makin semangat memberikan penjelasan kepada Lita.

Lita hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan Mbok Siti.

Dalam pikirannya, terbayang betapa besarnya obsesi cinta Iben pada Ipo, ibunya.

Tiba-tiba saja ada desir aneh di dadanya.

Mengapa Ipo?

Mengapa bukan dirinya?

Ada semacam rasa cemburu yang menusuk nyeri ulu hatinya.

“Baiklah, Mbok. Teruskan bersih-bersihnya. Saya mau jalan-jalan keluar sebentar, menghirup udara pagi yang segar. Sekalian menjemput cahaya matahari pagi.”

Berkata begitu Lita sambil menaruh kembali vas bunga ke tempatnya semula.

“Baik, Neng. Saya juga segera siapkan sarapan pagi, nanti.”

Lita keluar rumah.

Menghirup udara pagi yang segar.

BACA JUGA:Bekali 5 Strategi Ini Agar Anak Dapat Melindungi Diri Sendiri

Berjalan mengelilingi halaman rumah yang cukup luas, ternyata membuat tubuhnya cukup berkeringat.

Apalagi cahaya matahari pagi yang cukup hangat bebas memasuki halaman rumahnya.

Pohon-pohon bunga di halaman yang sedang mekar bunganya, terlihat indah berwarna warni.

Daun-daunnya pada ranting dan bunganya di ujung ranting bergoyang-goyang pelan tertiup angin pagi.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer