Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINI JATENG –
Masih dengan konsentrasi pada layar TV, tiba-tiba Lita berkata, “Penyanyi ini katanya mahasiswi UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret) Solo. Talenta bernyanyinya bagus. Kalau terus diasah, bisa jadi penyanyi top dia, nanti.”
“Oh ya? Mahasiswi kok suka nyanyi dangdut? Mahasiswi dari kampung, kali!” Iben menanggapi agak sinis.
“Lho, lagu dangdut sekarang sudah go internasional. Tak kalah wibawanya dengan lagu jenis lain. Karena kamu sukanya lagu rock saja, jadi melecehkan lagu dangdut.” Lita membela diri.
“Ah ya. Aku lupa. Kamu kan juga penyanyi dangdut. Sorry. Hehehe…” berkata begitu, Iben sambil tepuk jidatnya.
“Memang kenapa kalau aku penyanyi dangdut? Itukah sebabnya kamu selama ini melecehkan dan menghina aku?” suara Lita agak sengit dan meninggi.
“Oh, tidak. Meskipun pedangdut, kamu kayaknya berbeda dengan pedangdut lainnya.”
Iben dengan nada mulai hangat.
Bahkan wajahnya tampak tersenyum simpul.
“Apanya yang beda? Ayo, katakan!” tanya Lita sambil melotot ke arah Iben.
“Not now. Tidak sekarang! Hehehe…” tampaknya Iben mulai santai menghadapi Lita.
Lita tidak menjawab.
Tangannya meraih bantal sofa di samping dia duduk.
Dipukulkannya bantal sofa itu ke kepala Iben.
“Ah, kamu. Mulai berani nakal, ya.”
Iben kaget kepalanya dipukul bantal.
Otomatis dia mengangkat kedua tangan untuk melindungi kepalanya.
Tapi tetap saja bantal sofa itu menyentuh wajahnya.
Pelan saja.
Dan itu sudah cukup membuat Iben bangkit dari tidur telentang di sofa.
Tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih dua puluh lima menit.
Sudah cukup malam.
TV masih menyiarkan seleksi pedangdut.
Iben mulai menguap.
Mulutnya terbuka lebar sambil mengeluarkan suara hoaah..cukup keras.
“Dah mulai ngantuk ya?” tanya Lita.
“Iya, nih. Besok berangkat pagi. Ada yang harus aku kerjakan di Perpustakaan.”
Jawab Iben sambil berdiri dari sofa dan menggeliatkan pinggangnya.
“Baiklah. Sana, kamu tidur dulu,” tapi Lita dengan cepat melanjutkan, “Eh, aku buatkan susu dulu ya, sebelum tidur.”
Tanpa menunggu jawaban Iben, Lita bangkit dari sofa.
Berjalan cepat ke arah ruang makan.
Dia tahu, sebelum berangkat tidur, Iben hampir selalu membuat susu untuk diminum.
Sedang Iben tertegun sejenak.
Dia tidak pernah mengira Lita akan pergi membuatkan susu untuk diminum menjelang tidur.
Begitulah kebiasaan ibunya dulu.
Selalu membuatkan segelas susu hangat untuk dia minum sebelum tidur.
Kata ibunya, susu baik untuk kesehatan bila diminum menjelang tidur.
Dan malam ini, untuk pertama kalinya Lita membuatkan segelas susu hangat itu untuk dirinya.
Maka, ketika Lita datang kembali dengan segelas susu hangat di tangannya, dan disodorkan kepadanya, dengan wajah tersenyum, Iben seperti kehilangan dirinya.
Yang tampak di depannya, sosok berbaju hijau, berambut ekor kuda, dan tersenyum itu, adalah Ipo, ibunya.
Bukan Lita, ibu tirinya.
Seperti tanpa sadar, Iben menerima gelas susu.
Lupa mengucapkan terima kasih.
Lalu meminum susu itu beberapa teguk.
Berhenti.
Dan sambil menggeleng-gelengkan kepala, dia kembali memandang Lita.
“Ah, kamu seperti memunculkan kembali ibu di rumah ini.” katanya lirih.
Lalu kepalanya menunduk.
Lita tidak menanggapi.
Seolah tidak mendengar grenengan Iben.
Dia menunggu Iben menghabiskan sisa susu di gelas.
Dan Iben pun dengan cepat meneguk habis sisa susu itu.
Lita kembali mengangsurkan tangan, tanda meminta gelas kosong dari tangan Iben.
Iben seperti terhipnotis.
Gelas itu pun diangsurkan.
Gelas berpindah tangan.
Dan Lita segera balik kanan ke ruang makan menaruh gelas kosong itu ke atas nampan yang ada di atas meja.
Sebentar kemudian, Lita sudah kembali ke ruang depan, di mana Iben masih berdiri kaku di sana.
“Sudah. Yuk, tidur. Besok kamu katanya mau berangkat pagi ke Perpustakaan.”
Lita bicara pelan sambil menepuk bahu Iben.
BACA JUGA:Marwan Dkk Bangun Gubung Bambu, Siap Garap Lahan Milik Mereka
“Ya.” Hanya itu yang keluar dari mulut Iben.
“Eh, Ben. Boleh nggak kalau aku besok ikut kamu ke Perpustakaan? Aku ingin lihat kampusmu itu kayak apa,” lanjutnya.
“Kalau pulangnya aku bisa pulang sendiri duluan nanti. Kamu kan setelah selesai dari Perpustakaan terus kuliah sampai sore.”
“Ya.”
Kembali hanya kata itu yang keluar dari mulut Iben.
“Asyiiikk…terima kasih, ya.”
Lita berseri wajahnya.
Lalu, Lita berbalik dan berjalan menuju ke kamarnya yang tidak jauh dari ruang TV.
Dia buka pintu dan masuk.
Sebelum menutup pintu, sekali lagi Lita melempar senyum dan melambaikan tangan tanda berpisah untuk Iben.
Iben masih berdiri di tempatnya.
Matanya tadi mengikuti semua gerak gerik Lita.
Matanya tak pernah lepas dari sosok wanita berbaju hijau berambut ekor kuda yang berjalan di depannya.
Sampai sosok itu hilang dari pandangannya, menyelinap ke balik pintu kamar, mata Iben seolah mampu menembus pintu kayu yang tebal itu.
BACA JUGA:Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 71
Sosok berbaju hijau dan berambut ekor kuda itu masih berada dalam bola matanya.
Bahkan ketika dia memejamkan matanya.
Sampai dia terlentang di tempat tidur di dalam kamarnya, matanya tetap tak mampu memejam.
Dia gelisah.
Membolak balikkan tubuh di tempat tidur.
Sesekali dia menelungkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya.
“Ibu…apakah ibu memang belum meninggalkan rumah ini, bu?” Iben membenamkan wajahnya ke bantal.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***