26.7 C
Central Java
Selasa, 24 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 75

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINI JATENG –

Pukul enam pagi, Lita sudah siap menunggu Iben di ruang depan.

Pagi ini dia ingin ikut Iben ke Perpustakaan.

Wajahnya hanya dipoles bedak tipis.

Begitu pula bibirnya, sekedar disaput lipstik tanpa warna.

Semacam lipsgloss, agar bibirnya tidak tampak kering.

Lita pakai celana jins hitam dengan baju model hem lelaki berwarna pink.

Terlihat simple.

BACA JUGA:Marwan Dkk Bangun Gubung Bambu, Siap Garap Lahan Milik Mereka

Rambutnya tetap diikat ekor kuda.

Dan kakinya dibungkus sepatu kets model anak muda berwarna putih dengan kombinasi sedikit garis-garis biru.

Ditambah dengan tas kain model setengah lingkaran bertali panjang, bermotif batik, membuat Lita terlihat sederhana, sportif, dan memberi kesan natural.

Dengan dandanan model remaja, Lita tampak lebih muda.

Dan yang jelas malah lebih cantik bila dibandingkan ketika pergi dengan Theo dengan dandanan sempurna seorang wanita.

Gaun panjang, make up tebal, dan sepatu high-heels yang hanya membuat betisnya sakit.

Tak lama kemudian, Iben turun.

Setengah berlari dari tangga, langsung menghampiri Lita.

BACA JUGA:Jabatan dan Kebahagiaan

“Wah, sudah siap dari tadi rupanya,” sapa Iben. Datar.

“Sebenarnya aku hanya ingin tahu kampusmu. Bagaimana suasananya. Apa sama dengan yang sering ada di televisi atau lebih menyenangkan. Jika tidak boleh sebenarnya juga tidak masalah,” jelas Lita.

Lita seperti kecewa mendengar sapaan Iben yang datar.

“Kampus itu bukan tempat hiburan, tidak ada yang menarik. Kamu akan bosan.” kata Iben sambil membetulkan letak ransel di punggungnya.

“Tapi kenapa kamu tidak pernah bosan berjam-jam di perpustakaan kampus?”

“Itu karena aku suka.”

“Mungkin aku juga akan suka.”

“Baiklah, kita buktikan nanti,” tantang Iben.

BACA JUGA:7 Tips Ampuh Menggoda Suami yang Super Sibuk dengan Pekerjaan

Iben memperhatikan Lita.

Dengan kemeja dan celana jins sederhana dan juga beralaskan sepatu kets, terlihat sangat simpel dan natural.

Iben mengagumi kecantikan Lita dalam hati.

“Ayo, berangkat. Nanti kamu terlambat.”

Lita bangkit dan bergegas melangkah keluar rumah.

Gerakan Lita menyadarkan Iben dari lamunannya.

Lalu, dia mengikuti melangkah di belakangnya.

Mbok Siti yang sedang bersih-bersih menyapu halaman depan, sejenak berhenti dari kegiatannya.

Dilihatnya Lita dan Iben yang keluar rumah hampir bersamaan.

Lita yang bergerak lincah di depan.

Sedang Iben terlihat agak kikuk di belakangnya.

Mbok Siti tertawa melihat Iben yang salah tingkah.

“Neng cantik sekali,” puji Mbok Siti.

“Ma kasih, Mbok. Kami jalan dulu, ya.”

Lita melambaikan tangan pada Mbok Siti.

BACA JUGA:Kenali Tumor Payudara pada Pria Seperti Dialami Robby Purba

Sedang Iben tetap tidak bersuara.

Langsung mengeluarkan Vespa dari garasi dan menyalakan mesinnya.

Sebentar kemudian Vespa itu berjalan, membawa Iben dan Lita yang membonceng, pergi ke kampus.

Pagi itu, Perpustakaan masih agak sepi.

Iben mengajak Lita ke ruang baca di lantai tiga.

Menaiki tangga menuju ke lantai tiga ternyata cukup membuat nafas Lita ngos-ngosan.

Begitu Iben sudah memilih meja di sudut dekat jendela, Lita langsung menjatuhkan pantatnya di kursi.

Dia mengatur nafas sejenak.

Iben seperti tidak peduli dengan Lita.

Dia lepas ransel dari punggungnya, ditaruh di atas meja.

Dan langsung meninggalkan Lita yang masih ngos-ngosan, duduk sendirian.

“Aku mau cari buku-buku dulu. Kamu tunggu saja di sini. Oke?” katanya.

Lita tidak menjawab.

Hanya anggukan kepalanya saja sebagai tanda setuju.

Selebihnya dia hanya memandang punggung Iben yang melangkah menjauh ke ruang penyimpanan buku.

Lita hanya duduk bengong, melihat mahasiswa-mahasiswi yang mulai banyak memasuki ruang baca.

Mereka memilih meja dan duduk tenang, mengeluarkan buku dari tas, dan mulai membaca.

BACA JUGA:Buih Jadi Permadani, Lagu Exists Viral Setelah Cover Zinidin Zidan

Atau ada yang serius menulis di kertas dengan sesekali membuka-buka buku yang banyak berserakan di mejanya.

Kebanyakan meja yang dipilih adalah meja-meja yang dekat dengan jendela, sehingga ada selingan pemandangan keluar.

Meja-meja yang ada di tengah masih banyak yang kosong.

Bagian tengah sepertinya menjadi bagian mereka yang datang agak siang nanti.

Di luar gedung Perpustakaan ini ada taman dan tempat parkir yang luas.

Banyak pohon akasia besar yang rindang di setiap jarak tertentu.

Pohon-pohon akasia itu memberikan suasana hijau yang segar pada taman.

Daun-daunnya mampu menyerap panas sehingga banyak mahasiswa-mahasiswi yang duduk-duduk di bangku-bangku kayu yang sengaja disediakan di bawahnya.

Bahkan, cabang dan rantingnya menjulur sampai begitu dekat dengan jendela kaca di lantai tiga di samping Lita duduk.

Tahu-tahu Iben sudah berdiri di sampingnya.

BACA JUGA:Belajar Membuang Penyakit Iri dan Dengki

Lita agak kaget.

Iben tidak sendiri.

Di sampingnya berdiri seorang pemuda yang posturnya tidak jauh berbeda.

Hanya sedikit agak lebih gemuk dibandingkan Iben yang memang agak kurus.

Cenderung kerempeng malah.

Iben membawa setumpuk buku yang dibawa dengan kedua tangannya.

Buku-buku itu ditaruh begitu saja di atas meja.

Temannya juga membawa beberapa buku.

Tapi tidak sebanyak Iben.

Dia pun seperti Iben, meletakkan buku-buku itu di atas meja.

“Kenalkan, ini temanku. Namanya Dodit. Dit, ini Lita.” kata Iben pelan.

Iben hanya menyebutkan nama Lita.

Tidak memberitahukan siapa Lita.

“Oh, ya. Saya Lita.” jawab Lita sambil mengangsurkan tangannya mengajak bersalaman Dodit.

Lita menengok ke arah Iben, tersenyum lalu melanjutkan, “Ben, Bukannya cewek temanmu yang bernama Dodit itu?” kata Lita sambil menahan tawa.

“Yang cewek itu namanya Dodita. Yang ini kan hanya Dodit.” jawab Iben, wajahnya tampak lucu antara tersenyum dengan sedikit gondok.

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer