Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINI JATENG –
Jumat pukul empat lebih empat puluh lima menit, pesawat Garuda dijadwalkan mendarat di Airport Ahmad Yani, Semarang.
Sekarang pukul empat lebih tiga puluh lima menit.
Pak Anwar memarkir mobil di area parkir, persis di depan Gerbang Kedatangan.
Lita segera keluar mobil dan berjalan cepat menuju Gerbang Kedatangan.
Penampilan Lita sore ini cukup casual.
Celana jins biru ketat.
Kaos T-Shirt kuning muda cerah.
Kakinya cukup bersandal kulit tipis berwarna coklat.
Dan rambutnya yang sebahu diikat ekor kuda.
Sepertinya Lita sudah sangat menikmati dengan ikatan ekor kuda untuk rambutnya.
Rambutnya yang lebat, hitam legam sedikit mengombak, terlihat selalu bergerak-gerak dalam ikatan, mengikuti gerakan leher dan kepalanya.
Pak Anwar setengah berlari kecil menyusul di belakang Lita.
Masih ada waktu beberapa menit menunggu pesawat Theo mendarat.
Lita duduk di kursi tunggu, sambil menikmati satu cup teh poci dingin.
Suasana sore yang panas.
Teh poci dingin tentu cukup memberikan kesegaran pada tubuh yang mulai banyak berkeringat.
Sesaat kemudian, terdengar pengumuman pesawat Garuda dari Jakarta sudah mendarat.
Lita bangkit dan berjalan menuju pintu kedatangan.
Tak sampai sepuluh menit, Theo sudah muncul dengan menyeret koper kecil.
Lita setengah berlari menyambut Theo.
Dipeluknya Theo dengan mesra.
BACA JUGA: Kapal Pesiar: Manjakan Penumpang bagaikan Surga Dunia
BACA JUGA: Kapal Pesiar : Manjakan Penumpang bagaikan Surga Dunia (2)
Mau tak mau pemandangan itu menarik perhatian orang-orang di sekitar.
Ada wanita muda cantik, memeluk lelaki setengah baya yang masih tampak gagah meskipun rambutnya sudah dua warna.
Sebagai Pejabat Negara, Wakil Ketua DPR, tentu saja dengan cepat banyak orang mengenali Theo.
Ada yang menyebut namanya dengan lirih, tetapi Theo tetap saja masih bisa mendengarnya.
Menyadari keberadaannya yang banyak dikenali, Theo hanya menoleh kanan-kiri sambil tersenyum dan menggandeng tangan Lita untuk segera meninggalkan tempat.
Pak Anwar dengan sigap mengambil alih koper kecil dari tangan Theo.
“Ayah udah makan belum?” tanya Lita, sesaat mobil mereka meninggalkan area airport.
“Gak sempat. Tadi waktunya mendesak. Jadi takut ketinggalan pesawat.” kata Theo sambil merangkul bahu Lita.
“Gimana kalau kita mampir ke Nglaras Rasa dulu?” Lita menawarkan idenya.
“Hm, boleh. Aku memang sedang kelaparan, nih.” sambut Theo.
“Pak Anwar, kita ke Nglaras Rasa dulu ya. Yang di jalan Thamrin itu, lho.” Lita memberi instruksi.
“Siap, Nyonya.” sahut Pak Anwar pendek. Dan langsung mengarahkan mobil menuju ke Jalan Thamrin di pusat kota.
Usai makan di Nglaras Rasa, mereka langsung pulang ke rumah.
Senja sudah semburat jingga saat Pak Anwar memasukkan mobil ke dalam garasi.
Theo dan Lita sudah turun dan masuk rumah lewat pintu depan yang sudah dibuka oleh Mbok Siti.
Langkah Lita berhenti beberapa detik saat melihat Iben yang sedang berbaring di sofa di ruang keluarga.
Iben asyik membaca buku.
Iben sama sekali tidak acuh dengan kedatangan Theo.
Justru Theo lah yang sejenak berhenti, menoleh pada Iben, yang tetap asyik membaca buku.
Lita melangkah di belakang Theo. Kepalanya menunduk.
“Hai, Ben….” sapa Theo pada Iben.
“Hai, yah. Welcome home.” jawab Iben pendek. Melihat sekilas pada Theo, lalu meneruskan membaca bukunya.
Di luar dugaan, Theo justru mendatangi Iben.
Duduk di sofa yang berseberangan dengan sofa panjang di mana Iben membaca sambil tiduran.
Iben tetap tak acuh, walau tahu ayahnya duduk di dekatnya.
“Hm, bacaanmu mulai berat ya?” Theo bertanya tapi nadanya tidak seperti bertanya.
Iben bangkit dari posisi berbaring.
Duduk menghadapi ayahnya.
Iben meletakkan buku yang dibacanya dalam posisi terbuka secara terbalik.
Halaman cover dan halaman belakang jadi berada di atas, tampak jelas terbaca.
Buku dengan cover merah kecoklatan, dengan judul ‘THE REBEL” – An Essay on Man in Revolt, karya Albert Camus.
“Setiap mahasiswa Sastra harus tamat membaca buku ini. Ini salah satu kitab suci untuk Fakultas Sastra.” kata Iben, nadanya terdengar angkuh.
“Hm, baguslah. Asal otakmu tidak terjajah oleh pemikiran para filsuf Perancis itu,” kata Theo.
BACA JUGA:LDM dan Kebutuhan Seksual Suami Istri
“No way. Justru buku-buku semacam ini yang menginspirasi kami untuk melawan penjajahan yang dilakukan elit sendiri di negeri ini.” sahut Iben ketus.
“Oke. Lanjutkan membaca. Ayah mau istirahat sebentar. Kita boleh diskusi lagi sambil makan malam nanti.”
Theo bangkit dan meninggalkan Iben.
Langsung menuju ke kamarnya.
Lita melirik Iben.
Di saat yang sama Iben melihat ke Lita.
Pandangan dan lirikan bertemu sekejap.
Dan Lita segera membuntuti Theo masuk ke kamar.
Di dalam kamar, Theo langsung membuka baju dan celana.
Lita mengambilkan sarung dan baju lengan pendek yang tipis, dari almari pakaian.
Saat membuka baju, wajah Theo sedikit mendongak.
Matanya tertancap pada foto berpigura yang menempel di dinding.
Foto dirinya dan Ipo, yang tersenyum manis.
“Ta, sejak kapan kamu mengikat rambutmu ekor kuda begitu?” tiba-tiba Theo bertanya pada Lita yang sedang mengambilkan sarung dan baju untuknya.
“Memang kenapa, Yah? Ayah gak suka dengan model ekor kudaku?” Bukannya menjawab, Lita malah ganti bertanya.
“Suka sih suka. Ada yang aneh saja di mataku.” jawab Theo.
Lita mengangsurkan sarung dan baju.
Theo menerima dan langsung memakainya.
“Hm, jangan katakan aku meniru gaya Ipo, ya. Ayah kan tahu Semarang udaranya panas. Dengan ekor kuda begini ternyata mengurangi siksaan panas bila berada di luar rumah. Jujur, aku memang terinspirasi oleh foto Ipo itu. Tapi bukan berarti aku sengaja mau meniru.”
Lita sedikit cemberut mulutnya saat memberikan argumentasi soal rambut ekor kudanya.
“Tidak sih. Any way. Aku juga suka kok. Kamu kelihatan lebih manis.” Theo tersenyum dengan nada sedikit merayu.
“Thank you, sayang…” kata Lita sambil memeluk pinggang Theo.
Theo ganti memeluk Lita.
Diciumnya kening Lita.
Lita menengadahkan wajahnya.
Matanya setengah terpejam.
Dengus nafasnya terasa hangat menyentuh wajah Theo.
Theo menundukkan wajahnya.
Dengan pelan mencium bibir Lita.
BACA JUGA:Kedengkian Melahap Kebajikan
Bibir yang selama ini kering kerontang karena kemarau panjang.
Dan sore ini mendadak mendapat tetesan air yang membasah.
Bisa dimengerti bila Lita hanya mampu mendesah dalam rengkuhan Theo yang ternyata memang masih gagah.
Di ruang keluarga, Iben masih duduk bengong sendiri di sofa.
Bukunya masih tergeletak di atas meja.
Matanya saja yang berkedap-kedip, lalu kepalanya menggeleng pelan.
Kedatangan Theo, ayahnya, menjadi persoalan yang mengganjal dalam dadanya.
Apalagi, menurut Lita, Theo akan berada di rumah untuk beberapa hari.
Keberadaan Theo sungguh tidak mengenakkan perasaannya.
Melihat Lita berdekatan dengan Theo saja sudah menjadi pemandangan yang tidak enak.
Apalagi, saat melihat Lita dan Theo menghilang di balik pintu kamar.
Ada perasaan perih sekaligus panas yang seolah merebus otak di kepalanya.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***