Oleh: Muhammad Abrar Aulia*)
OPINIJATENG.com – Ketika batu bara tidak lagi worthy, saatnya bangsa Indonesia mulai melirik laut.
Kita sudah sering mendengar istilah pembangkit listrik tenaga surya, tenaga angin, bioenergy, geothermal, dan hydropower. Dan, ketika batu bara tak lagi worthy, laut yang selama ini belum disebut, harus dilirik.
Ingat, lautan merupakan dua per tiga luas Indonesia. Jika suatu saat batubara sebagai bahan bakar industri pembangkit listrik tak lagi worthy, maka saatnya Bangsa Indonesia beralih memanfaatkan potensi laut.
Laut memang air, tetapi air laut bukan air biasa dengan mengasumsikan hydropower berasal dari manfaat konstruksi bendungan.
Indonesia Energy Outlook 2019 oleh Kementerian ESDM juga tidak menyebut laut dalam proyeksi penyediaannya, meskipun disebutkan potensinya.
Misalnya, laut dimanfaatkan untuk ocean thermal energy conversion (OTEC). Riset oleh MET-support mengindikasikan potensi OTEC yang sangat besar hingga 250 GW.
***
Tulisan dokter Tan Shot Yen “Dipaksa, terpaksa, lalu bisa, kemudian biasa hingga jadi budaya,” (2020) mengingatkan kita bahwa menjadi terbiasa itu bukan hal yang mudah dan tidak bisa instan.
Perubahan itu terkadang terasa menyakitkan dan kejam. Covid-19 selama hampir setahun ini, memberi contoh nyata tentang perubahan itu.
Menariknya, perubahan terjadi secara terus-menerus. Tentu, perubahan yang kita inginkan adalah perubahan menjadi lebih baik, karena kita akan merugi jika sebaliknya.
Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dialah orang yang beruntung; barang siapa hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia orang yang merugi; dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin, maka dia tertipu/terlaknat” (Riwayat Al-Hakim).
Perubahan menjadi lebih baik inilah yang diproyeksikan oleh Bappenas dalam Low Carbon Development Initiative (LCDI): a Paradigm Shift towards a Green Economy in Indonesia (2019-2045).
Menteri Bappenas (1998), Boediono, menyebutkan bahwa LCDI adalah permulaan Indonesia mengarusutamakan pertumbuhan rendah karbon yang mengukur keberlanjutan lingkungan, efisiensi sumber daya, dan keadilan sosial disamping PDB (Produk Domestik Bruto).
Kita menuju kehidupan yang hijau. Hijaulah yang lebih baik.
Memangnya apa yang lebih baik? Mengikuti yang lebih hijau akan mengantarkan Indonesia mencapai pertumbuhan PDB rata-rata di angka 6% per tahun.
Tentu ini pertumbuhan PDB yang bagus jika melihat pertumbuhan PDB Indonesia rata-rata sebesar 5.6% per tahun selama 18 tahun sejak 2000.
Poin penting lainnya adalah pembangunan rendah karbon menawarkan keuntungan lingkungan dimana Indonesia berperan aktif mencapai target reduksi emisi karbon dalam rangka mencegah kenaikan 1.5 derajat celcius suhu global.
Kebijakan ini akan menjaga 16 juta hektare hutan dari eksploitasi selama 45 tahun kedepan.
Aktivitas rendah karbon akan meningkatkan kualitas udara.
Konsekuensinya, kita menjadi lebih sehat.
Kebijakan ini digadang-gadang akan menghindarkan terjadinya 40 ribu kematian setiap tahun.
Menjadi hijau lewat sumber energi terbarukan.
Pertanyaannya adalah, lalu apa yang akan berubah?
Salah satu aspek penting yang menjadi target LCDI adalah penggunaan sumber energi terbarukan/renewable sources of energy (RE) dan menjauhi batu bara.
Selama ini kita sangat akrab dengan batu bara dimana ia memasok 55% kebutuhan energi pembangkitan listrik kita.
Harga beli listrik (PPA) dengan bahan bakar batu bara secara tradisional memang lebih murah ketimbang energi matahari dan angin.
Namun, perhitungan ter-update menunjukkan biaya polusi udara dan dampaknya pada kesehatan kita membuat harganya menjulang.
Batu bara menjadi tidak worthy lagi ke depannya.
Saat ini, mayoritas porsi RE disumbang oleh energi air (hydropower) dan panas bumi sekitar 12% dari total kebutuhan pembangkitan listrik di angka 9 GW.
Sampai 2027, Perusahaan Listrik Negara (PLN) menargetkan baurannya menjadi 23% termasuk di dalamnya sumbangsih energi surya dan angin di angka 15 GW.
Meskipun terlihat proyeksi kenaikan, ternyata rencana ini masih di bawah target pemerintah dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) di angka 45 GW pada 2027.
Tantangan dan Peluang
PLN secara pasti akan digenjot untuk memaksimalkan target bauran energi terbarukan.
Inilah tantangan yang mesti diubah menjadi peluang karena masih terdapat perbedaan proyeksi dengan RUEN sampai dengan 2027.
https://opinijateng.com/2021/10/06/306/kiai-nur-hasyim-dan-afnan-pimpin-pcinu-belanda/
Bagi sebagian kelompok masyarakat yang aktif di industri tinggi karbon, misalnya batu bara, perubahan ini mungkin menyakitkan.
Tapi perlu diingat sisi positifnya.
Masalah ini diantisipasi di dalam LCDI dimana keadilan sosial menjadi parameternya.
Solusinya, negara mengusahakan transisi yang seadil-adilnya sehingga pelaku industri tinggi karbon bisa beradaptasi sehingga ke depan memiliki kapasitas dan kesadaran (awareness) untuk beralih pada industri rendah karbon.
Disamping pembangkitan listrik, sektor lain seperti industri, transportasi, dan rumah tangga perlu beradaptasi dengan perubahan ini karena sektor inilah penyumbang pencemaran karbon. Karena itulah, mari bersiap.
Sekarang kita bisa melihat adanya pertumbuhan penggunaan energi terbarukan oleh masyarakat.
https://opinijateng.com/2021/10/06/309/pcinu-belanda-bahtsul-masail-dan-konfercab/
Kita melihat bertambahnya pembangkit listrik tenaga surya, angin, bioenergy, geothermal, dan hydropower.
Hal ini tentu menggairahkan bagi kelompok masyarakat yang sudah aktif di industri energi terbarukan.
Saatnya Kita Melirik laut
Jika kita sorot RE-nya (surya, angin, bioenergy, geothermal, dan hydropower), sepertinya ada yang kurang.
Laut masih belum disebut.
Sementara laut merupakan dua per tiga luas Indonesia.
Laut memang air, tetapi air laut bukan air biasa dengan mengasumsikan hydropower berasal dari manfaat konstruksi bendungan.
Indonesia Energy Outlook 2019 oleh Kementerian ESDM juga tidak menyebut laut dalam proyeksi penyediaannya, meskipun disebutkan potensinya.
Ini adalah peluang sekaligus tantangan yang menuntut segera dijawab.
Ada beberapa penelitian mengenai ini.
Misalnya, laut dimanfaatkan untuk ocean thermal energy conversion (OTEC).
Riset oleh MET-support mengindikasikan potensi OTEC yang sangat besar hingga 250 GW.
Ini sudah lebih dari dua kali lipat proyeksi kapasitas terinstal 115 GW di tahun 2050 oleh RUEN.
Melihat sisi ekonomisnya, Cahyaningwidi (2018) melihat OTEC bisa berkompetisi dengan energi surya jika diterapkan feed-in tariff juga.
Namun, penelitian menjelaskan bahwa OTEC memiliki keterbatasan begitfu juga RE yang lain.
Jalan tengahnya adalah mengkombinasikan kelebihan masing-masing.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa selama 25 tahun ke depan kita perlu memaksa diri untuk berubah dan akhirnya membiasakan diri dengan kegiatan berbasis rendah karbon.
Kegiatan rendah karbon akan memberikan dampak positif bagi kehidupan kita bersamaan dengan peluang dan tantangannya.
Pembangunan rendah karbon salah satunya dimotori peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan di bidang pembangkitan listrik.
Melihat potensinya, laut perlu dipertimbangkan dalam mengkombinasikan proyeksi pemenuhan sumber energi terbarukan untuk pembangkitan listrik disamping energi matahari, angin, air, bio, dan panas bumi.
*) Muhammad Abrar Aulia adalah mahasiswa program magister di TU-Delft (Technicshe Universiteit-Delft) Belanda.