SELASA, 4-6 Rabi’ul Awal 1443 Hijriyah/9-11 November 2021 Miladiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII Tahun 2021 bertempat di Hotel Sultan, DKI Jakarta. Tema yang ditetapkan adalah “Optimalisasi Fatwa untuk Kemaslahatan Bangsa”.
Ijtima’ Ulama yang akan melahirkan banyak fatwa, ini boleh jadi terasa agak panas dan sekaligus ditunggu-tunggu masyarakat, karena ada isu-isu strategis berkaitan dengan pemilihanumum 2024 dan Rancangan Undnag-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP).
Ada tiga model fatwa yang merupakan instrument atau wasilah jihad bi l-‘ilmi atau jihad bi l-fatwa yang dikeluarkan MUI. Pada dasarnya fatwa adalah respon atau jawaban terhadap permasalahan yang diajukan oleh orang-perorang atau Lembaga/organisasi.
Fatwa bersifat tidak mengikat, namun biasanya diikuti oleh pemohon fatwa. Dalam banyak hal, terutama fatwa MUI tentang berbagai macam akad di Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) – setelah melalui positifisasi oleh Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) – bertransformasi menjadi regulasi yang mengikat bagi Perbankan Syariah atau LKS, dan menjadi acuan dalam melakukan audit atas akuntabilitas kepatuhan Syariah (syariah compliance)-nya.
BACA JUGA : Prof Ahmad Rofiq: Plus Minus Basyarnas MUI?
BACA JUGA : Hamil Dulu sebagai Modus, Dispensasi Nikah di Jateng Terus Meningkat
BACA JUGA : Doa agar Amal Ibadah Diterima Allah Swt
BACA JUGA : Doa agar Anak Keturunan Rajin Salat
Ada tiga macam fatwa yang dikeluarkan MUI, pertama, fatwa yang disiapkan oleh Komisi Fatwa.
Biasanya diformat dalam satu masalah satu nomor.
Isunya meliputi berbagai persoalan dihadapi dan diajukan masyarakat kepada MUI, termasuk dalam soal ekonomi. misalnya Fatwa MUI Nomor: 04 Tahun 2016 tentang Imunisasi.
Namun setelah dibentuk Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI), maka dalam masalah keuangan dan perekonomian, kewenangan fatwa didelegasikan (di-tauliyah-kan) kepada DSN-MUI.
Kedua, fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.
Hampir sama dengan format fatwa Komisi Fatwa.
Fatwa DSN-MUI formatnya satu masalah satu nomor.
Misalnya Fatwa Nomor: 141/DSN-MUI/VIII/2021 tentang Pedoman Pendirian dan Operasional Koperasi Syariah.
Ketiga, adalah fatwa hasil Ijtima’ Ulama yang digelar secara periodik.
Formatnya, tanpa nomor, dan klasifikasinya dibuat pada tiga besar:
(1). Masail Asasiyyah Wastaniyah (Masalah Strategis Kebangsaan);
(2). Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (Masalah Fikih Kontemporer); dan
(3). Masail Qanuniyyah (Masalah Peraturan Perundang-undangan).
Di antara masalah Strategis Kebangsaan adalah tentang Dlawabit dan Kriteria Penodaan Agama (Perspektif Majelis Ulama Indonesia), Jihad dan Khilafah dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia; Panduan Pemilu dan Pemilukada yang lebih maslahat bagi Bangsa Indonesia; dan Tinjauan Perpajakan.
Persoalan penodaan agama masih sering terjadi, bahkan yang diduga pelakunya berbagai macam yang kompetensi ilmu agamnya berbeda-beda, bahkan termasuk katagori tokoh agama.
Tentu ini jika dibiarkan dapat merusak persatuan, kedamaian, dan keharmonisan bangsa.
MUI (Materi Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII Tahun 2021), Dlawabit dan Kriteria Penodaan Agama dirumuskan sebagai berikut:
1. Menghina, menghujat, melecehkan dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan agama, keyakinan dan simbol-simbol agama yang disakralkan oleh agama lain hukumnya Haram bagi umat Islam.
2. Perbuatan menghina, menghujat, melecehkan dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan agama, keyakinan dan simbol-simbol agama yang disakralkan agama harus dilakukan penegakkan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Kriteria dan batasan tindakan yang termasuk dalam kategori perbuatan penodaan dan penistaan agama Islam adalah perbuatan menghina, menghujat, melecehkan dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan:
a. Allah SWT b. Nabi Muhammad SAW
c. Kitab Suci al-Qur’an
d. Ibadah Mahdlah seperti Shalat, Puasa, Zakat dan Haji.
e. Sahabat Rasulullah SAW
f. Simbol-simbol agama yang disakralkan seperti Ka’bah, Masjid dan lainnya.
4. Termasuk dalam tindakan Penodaan Agama sebagaimana disebut dalam angka 3 adalah perbuatan yang dilakukan namun tak terbatas dalam bentuk:
a. Pembuatan gambar, poster, karikatur, dan sejenisnya.
b. Pembuatan konten dalam bentuk pernyataan, ujaran kebencian, dan video yang dipublish ke publik melalui media cetak, media sosial, media elektronik dan media publik lainnya.
c. Pernyataan dan ucapan di muka umum dan media.
Dasarnya adalah: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (Q.S. al-An’am: 108).
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik …” (QS. Al-Ankabut: 46). “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang sia- pa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An-Nahl: 125)
Rekomendasi
1. Untuk menciptakan kerukunan umat beragama maka harus dilakukan komunikasi, dialog dan upaya-upaya yang dapat mewujudkan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.
2. Harus ada peraturan perundangan-undangan yang kuat dan tegas untuk menciptakan kerukunan umat beragama dan memberi sanksi tegas bagi pelaku/organisasi yang melakukan penodaan/penistaan agama yang dapat menimbulkan konflik antar dan intern umat beragama.
3. Negara harus bertindak tegas atas segala bentuk tindak pelanggaran yang mengganggu keharmonisan dan kerukunan beragama, sampai kepada akar masalah atau yang penyebab konflik berdasarkan UU, seperti pelanggaran terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama.
Uraian di atas menegaskan, bahwa penodaan agama, apapun agamanya yang diakui secara yuridis di Indonesia, adalah haram.
Karena selain memang dilarang atau diharamkan oleh agama Islam, penodaan agama akan menimbulkan permusuhan dan merusak kedamaian dan keharmonisan.
Padahal untuk bisa menjalankan kehidupan di dunia ini dengan baik (fi d-dunya hasanah), untuk mempersiapkan kehidupan akhirat yang baik (fi l-akhirati hasanah), maka kerukunan, persaudaraan, kedamaian, dan keharmonisan merupakan wasilah atau instrument yang dipenuhi terlebih dahulu.
Selamat berijtima’ Ulama, semoga menghasilkan rumusan fatwa yang menjadi rujukan dan bermanfaat bagi kemashlahatan bangsa ini. Amin. Allah a’lam bi sh-shawab.
Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA. Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah, Guru Besar Pascasarjana dan FSH UIN Walisongo Semarang, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Ketua DPS Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, Anggota BPS BPRS Bina Finansia, Koordinator Wilayah Indonesia Tengah MES Pusat, dan Anggota Dewan Penasehat IAEI Pusat.***