Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Tok… Tok… Tok…
“Den, ini Mbok.”
Beberapa menit kemudian Iben membuka pintu kamarnya.
“Kenapa Mbok?”
“Makan siangnya sudah siap, Den.”
Mbok Siti khawatir karena Iben akhir-akhir ini jarang makan.
“Nanti saja Mbok.”
“Tidak ada siapa-siapa di rumah, Den. Tuan dan Nyonya bulan madu ke Bali. Mereka berangkat tadi pagi.”
Mbok Siti menjelaskan semuanya seolah tahu apa alasan Iben tidak mau makan siang.
“Nyonya?!”
Iben mengulang dengan meninggikan nada suaranya.
“Maaf Den..”
“Sudahlah. Nanti saya turun, Mbok.”
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 36
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 35
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 34
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 33
Setelah mengetahui Iben mau makan siang, Mbok Siti merasa lega. Dia segera pergi dan menyelesaikan pekerjaannya.
Iben duduk sendiri di meja makan yang besar dengan banyak makanan di depannya. Hati Iben merasa miris karena tidak ada satupun anggota keluarga bersamanya siang ini.
“Hmm… Honeymoon ke Bali, ya.”
Iben beranjak dari tempat duduknya dan mencari Mbok Siti.
“Mbok tolong temani aku makan siang.”
Mbok Siti terkejut dengan permintaan Iben. “Memangnya kenapa, Den?”
“Makanan terlalu banyak. Ajak Pak Anwar dan yang lain juga untuk makan bersama.”
“Pak Anwar minta ijin tidak kembali ke sini selama Tuan ada di Bali, Den.”
“Ya sudah. Mbok Siti dan yang lainnya saja. Satpam pintu gerbang depan, Pak Paidi dan kawan-kawannya. Semua ke sini, makan siang bersamaku.”
Siang itu Iben makan siang dengan orang-orang yang jarang makan enak.
Tiga orang satpam penjaga pintu gerbang kompleks merasa seperti mendapat rejeki nomplok.
Siang ini tidak perlu keluar uang untuk beli nasi pecel.
Tapi perutnya kenyang dengan makanan enak.
Awalnya mereka ragu, tapi Iben meyakinkan tidak akan terjadi hal buruk jika mereka makan bersama Iben.
Dan bagi Iben meja makan itu tidak berarti apa-apa lagi selain tempat untuk makan dan menciptakan kehangatan.
Iben tidak peduli lagi siapa yang duduk di kursi ayahnya atau ibunya.
Sementara itu, Theo dan Lita sedang bulan madu di Bali, menikmati kebersamaan dengan semua fasilitas mewah.
Bagi Theo, uang bukan masalah.
Sedang bagi Lita, bersama Theo saat ini benar-benar saat yang membahagiakan.
Lita dapat memuaskan semua hasrat dan keinginannya untuk berpesta pora dan belanja.
Semua hal yang seharusnya dilakukan orang kaya, dijalankan dengan baik oleh Lita.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***