23.9 C
Central Java
Sabtu, 14 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 47

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

Jumat sore, seperti biasa Theo pulang ke rumah.

Lita sudah menanti kedatangan Theo dengan wajah cemberut.

Saat Theo berada di rumah adalah saat di mana dia bisa membalas dendam pada Iben.

Makanya, begitu Theo masuk rumah, Lita menyambutnya dengan setengah berlari dan memeluk erat-erat pinggang Theo.

Lita menangis sesenggukan di pelukan Theo.

“Ada apa ini?” tanya Theo yang menjadi agak canggung menanggapi sikap Lita.

“Aku tidak mengerti kenapa Iben masih tidak suka padaku.”

“Anak itu lagi!”

Theo melepaskan pelukan Lita.

BACA JUGA: Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 45
BACA JUGA: Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 44

“Kemarin dia memaki-maki aku di depan teman-temanku. Aku jadi malu. Aku hanya ingin bertemu dengan teman-temanku, aku kesepian. Aku mengundang mereka ke rumah hanya untuk makan minum dan berkaraoke. Tapi Iben marah dan mengusir mereka.”

Lita kembali memeluk pinggang Theo dan masih menangis.

Theo yang pulang ke Semarang ingin menikmati hari libur, bersenang-senang dengan istri muda, bukannya disambut dengan senyum bahagia dan pelukan mesra, tetapi malah rengekan tangisan pengaduan kekurangajaran Iben terhadap istri mudanya.

Lelah karena perjalanan pulang dan pusingnya memikirkan pekerjaan, menjadikan Theo sangat emosional, mudah marah.

Tanpa memberikan komentar apa pun terhadap rengekan pengaduan Lita, Theo langsung berjalan cepat menuju tangga, naik ke lantai atas, ke kamar Iben, yang pintunya setengah terbuka.

Iben sedang tiduran di tempat tidur sambil membaca buku.

Sepertinya Iben tahu ayahnya pulang dan akan mendatangi kamarnya untuk memarahinya.

Dia diam saja dan tidak melihat ke arah pintu kamarnya.

Tanpa mengetuk pintu, Theo mendorong dengan keras pintu kamar yang sudah setengah terbuka.

Daun pintu itu dengan kuat membentur dinding sehingga menimbulkan suara cukup keras.

Braaakkk….!

Theo langsung melangkah masuk.

Berdiri di samping tempat tidur, dekat dengan Iben yang masih berbaring sambil membaca buku.

Dengan cepat Theo merampas buku dari pegangan Iben.

“Iben! Makin lama kamu makin kurang ajar, ya?”

Tarikan buku dan hardikan Theo membuat Iben menoleh dan melihat ayahnya yang wajahnya merah karena menahan marah.

“Kenapa tidak bangun dan menyambut ayahmu?! Aku ini ayahmu dan ini rumahku, kamu harus menuruti aturan dan perintahku!”

Mata Theo mendelik melihat Iben yang masih saja berbaring santai di ranjangnya.

“Apa itu artinya ayah sedang mengusirku? Baiklah aku akan pergi. Untuk berapa lama, sementara atau selamanya?”

Iben mulai bergerak untuk bangun dan duduk di tepi tempat tidur.

Wajahnya mendongak, matanya lurus melihat mata

Theo. Pandangan mata dengan nada menantang.

“Kamu benar-benar kurang ajar, Iben! Berani melawan ayah dan ibumu, ya!”

Theo membentak Iben dan mengangkat tangannya dengan gerakan hendak memukul.

“Pukul saja, ayah. Itu tidak akan sakit lagi.”

Iben menggeser duduknya lebih dekat ke arah tempat Theo berdiri.

Plaak!

Theo menampar pipi kanan Iben dengan sangat keras.

“Untuk kekurang ajaranmu!”

Lalu sekali lagi Theo mengayunkan tangannya.

Plaak!

Kali ini Theo menampar pipi kiri Iben.

“Untuk sikap kekanak-kanakanmu!”

Kedua pipi Iben langsung merah dan ada sedikit darah di sudut bibirnya.

Lita yang sedari tadi berada di balik pintu kamar, melihat pertengkaran itu hanya diam saja.

Dia senang tapi tidak merasa puas.

Lita sendiri tidak mengerti apa sebenarnya yang dia inginkan.

“Ayah, apa ayah tahu wanita seperti apa yang ayah nikahi? Atau, ayah memang sudah tahu tapi tak mau tahu, sehingga tetap menikahinya?”

“Berhenti bicara omong kosong!”

“Dia tidak seperti ibu, bahkan sangat jauh berbeda.”

Lita yang masih berdiri di balik pintu, merasa sangat dongkol, dirinya diperbandingkan dengan Ipo.

Spontan Lita melangkah memasuki pintu, berdiri di belakang Theo, dan sambil berkacak pinggang mengumpat pelan, “Tentu saja! Ibumu kan sudah meninggal. Meski kamu mencari ke seluruh dunia kamu tidak akan pernah bertemu dengan orang seperti dia. Jika kamu ingin dengannya susul saja dia, sana!”

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer