Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Mencintai orang lain karena uang, di situlah letak kesalahan Lita sebenarnya.
Sejauh ini dia belum mencintai Theo dengan tulus.
Maka wajar saja bila Lita tidak pernah mendapatkan cinta balik dari Theo dan keluarganya.
Lita menyadari hal itu dan ingin mengubah dirinya.
Lita ingin membuka hatinya dengan sungguh sungguh.
Malam itu sudah waktunya Theo untuk pulang dari Cina.
BACA JUGA: Kunci Jawaban Tema 5 Kelas 1 Halaman 36, 38, 39 Pembelajaran 6 Sub Tema 1 Pengalaman Masa Kecil
Lita sangat bahagia dan memasak makanan favorit Theo.
Ketika semua makanan sudah tersaji dengan rapi dan cantik di meja makan, yang ditunggu belum juga datang.
Lita duduk memandangi masakannya dan Mbok Siti berdiri di sampingnya.
Mbok Siti menyentuh pundak Lita mengisyaratkan ‘Semua baik baik saja’.
Iben turun untuk makan malam, dia melihat banyak sekali makanan, tidak seperti malam-malam biasanya.
Dan semua makanan itu adalah favorit ayahnya.
Pemandangan itu menyeret Iben ke berapa waktu lalu, sesaat sebelum ibunya meninggal setelah makan malam.
Ingatan akan ibunya benar-benar membawa kesedihan yang sangat dalam baginya.
Kesedihan ibunya adalah kesakitan dirinya, kesakitan dirinya adalah kesedihan ibunya.
“Den,” suara Mbok Siti menyadarkan Iben dari lamunannya.
“Den Iben baik-baik saja kan?” tanya Mbok Siti lagi.
“Iya Mbok, aku tidak apa-apa. Hari ini ayah pulang?” tanya Iben datar.
Mbok Siti mengangguk dan Lita menunduk.
Iben duduk di kursinya.
Dia tidak segera menyentuh sendok dan garpunya.
Dia tahu mereka tidak akan memulai makan karena sedang menunggu kedatangan ayahnya.
Makan malam ini spesial dibuat untuk Theo, menyambut kepulangannya dari luar negeri.
BACA JUGA: Kunci Jawaban Tema 5 Kelas 3 Halaman 103, 105, 107 Pembelajaran 5 Sub Tema 2 Perubahan Cuaca
Persis seperti yang sering Ipo lakukan.
Iben menatap Lita nanar.
Kali ini tidak ada kebencian di hati Iben.
Melihat Lita yang bernasib sama seperti ibunya Iben merasa prihatin dan kasihan.
Kebenciannya pada Lita kini bertumpuk menjadi kebenciannya pada Theo, ayahnya.
Lita beranjak keluar untuk menunggu Theo di beranda rumah.
Satu jam berlalu yang ditunggu tidak juga datang.
Ponsel pun tidak bisa dihubungi.
Tadi Pak Anwar mengabari dari bandara, pesawat Theo terlambat kedatangannya.
Lita mondar mandir dan menunggu dengan gelisah.
Di meja makan Iben menatap kosong makanan-makanan yang sudah menjadi dingin.
Dia kemudian melihat Mbok Siti mengisyaratkan untuk menyusul Lita.
“Neng, sepertinya Tuan terlambat pulang malam ini. Belum ada kabar pasti dari Pak Anwar. Mungkin Tuan masih dalam perjalanan di pesawat yang dari Cina, sehingga teleponnya masih belum bisa dihubungi. Ayo kita makan dulu, makanannya sudah dingin,” ajak Mbok Siti dan menuntun lengan Lita.
“Tapi Mbok…”
“Sudah tidak apa-apa, Neng. Lagi pula jika Tuan Theo pulang larut malam nanti dia tidak akan makan, karena biasanya sudah makan di luar.”
Lita tidak punya tenaga untuk menolak Mbok Siti dan perkataan Mbok Siti meang benar.
Makan malam itu sudah tidak mungkin lagi bagi Theo.
Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam.
Lita sedikit terkejut melihat Iben yang masih duduk dan menunggu.
Lita merasa tidak enak hati pada Iben.
“Maaf, kamu sudah menunggu lama,” kata Lita.
“Makanan ini tidak akan mubazir. Ayo kita makan. Mbok Siti juga ikut makan.”
Iben menggeser kursi dan mempersilakan Mbok Siti duduk.
Lita tersenyum.
Mereka menikmati makan malam dengan makanan yang sudah dingin.
Saat makanan itu menyentuh lidahnya, Lita menertawakan dirinya.
Makanan itu sama dinginnya dengan hatinya sekarang.
BACA JUGA: Kunci Jawaban Tema 5 Kelas 1 Halaman 31, 32 Pembelajaran 5 Sub Tema 1 Pengalaman Masa Kecil
Lita makan dengan menunduk karena menangis, entah untuk alasan apa.
Dia bersedih karena Theo mengecewakannya, atau dia terharu karena pertama kalinya mendapat perlakuan baik dari Iben.
Iben dan Mbok Siti melihat Lita yang makan dengan tertunduk bisa dengan mudah menyadari Lita sedang menangis.
Tapi mereka tidak melakukan apapun karena tidak ingin memperburuk suasana hati Lita.
Di tengah-tengah suasana makan yang hening itu, tiba-tiba telepon Lita bergetar.
Tanda ada panggilan masuk.
Sekilas Lita melihat nama Theo di layar teleponnya.
Lita berhenti makan, melepaskan sendok di tangan dan segera meraih telepon yang memang sengaja diletakkan di atas meja makan.
“Hai, sayang… di mana nih? Udah sampai Bandara?” Mata Lita tampak berbinar menyapa Theo.
“Hai, sayang. Ya, aku baru saja mendarat di Cengkareng, nih,” sambut Theo dari seberang sana, “tapi aku belum bisa langsung pulang ke Semarang. Besok ada rapat mendadak untuk membahas hasil kunjungan ke Cina yang sangat penting ini.”
Lita hanya bisa diam mendengarkan penjelasan Theo.
“Ugh!” hanya itu yang keluar dari mulutnya.
“Lha, pulangnya ke Semarang, kapan?” Lita bertanya dengan nada pelan.
“Belum tahu. Kayaknya minggu-minggu ini masih sibuk banget, sih. Aku sudah telepon Pak Anwar juga kok.”
Jawab Theo terdengar tanpa beban.
BACA JUGA: Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 47
“Ya, sudah. Hati-hati saja di jalan. Selamat bekerja.” kata Lita sambil menutup telepon.
Dia mencoba memperlihatkan sikap santai di depan Iben dan Mbok Siti.
Berakhir sudah kegelisahan Lita menunggu Theo.
Theo tidak jadi pulang malam ini.
Theo sudah sampai Jakarta, tapi tidak langsung ke Semarang.
Pekerjaan masih menunggu besok dan tidak bisa ditinggal.
Begitulah Theo.
Hampir seluruh waktunya tersita untuk kerja.
Jadi Wakil Ketua DPR jam kerjanya ternyata dua puluh empat jam penuh sehari.
Hampir tak ada sisa untuk anak istri.
Lita kadang heran juga, dulu sebelum menikah Theo masih sering berada di Semarang.
Hampir tiap weekend, Sabtu dan Minggu, Theo punya waktu untuknya.
Tapi kok sekarang ritmenya berbeda.
Theo lebih banyak menghabiskan waktu di Jakarta.
Selesai makan malam, Iben segera masuk kembali ke kamarnya.
Mbok Siti kembali ke kamarnya di belakang, dekat dapur.
Untuk mengusir sepi, Lita memberanikan diri untuk menemui Iben dan mencoba berkomunikasi dengannya.
Iben sedang bermalas-malasan di kamarnya, libur kuliah membuatnya menjadi pengangguran dan kesepian.
Iben menyadarinya akhir-akhir ini.
Bagaimana rasanya menjadi Lita. Sendirian tanpa pekerjaan di rumah besar dan sepi.
Tok… Tok… Tok…
“Ya, masuk.” Iben mempersilahkan si pengetuk masuk dan mengira itu Mbok Siti.
“Apa aku mengganggu?” kata Lita ragu-ragu setelah membuka pintu kamar Iben. “Em..aku hanya ingin bertanya sesuatu,” tambahnya.
Iben yang sedang bermalas-malasan terkejut menyadari orang yang mengetuk pintu bukan Mbok Siti melainkan Lita.
Sekarang pandangannya tertuju pada Lita yang berdiri di ambang pintu, bingung.
Entah mengapa keduanya menjadi canggung.
“Jika kau bertanya tentang Ayah, jawabanku pasti. Tidak tahu!” jawab Iben segera setelah menyadari suasana yang hening.
“Okay.”
Lita kemudian menutup pintu.
Iben kembali memandang langit-langit kamarnya.
BACA JUGA: Orang Tua, Kunci Surga yang Terlalaikan
Matanya terpejam, tapi terbersit satu gambar sosok di pikirannya, “Lita”.
Sedangkan Lita masih menunggu dan mengkhawatirkan sikap Iben berikutnya.
Mereka saling terdiam cukup lama dengan perasaan yang asing.
Tidak seperti biasanya mereka yang saling memberi caci dan maki, kini mereka lebih banyak diam dan seperti saling memahami.
Akan tetapi keegoisan masing-masing masih menciptakan tembok yang tinggi antara ibu tiri dan putra bungsu ini.
Tidak ada kata maaf dan terima kasih.
Tidak ada yang ingin memulai.
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***