23.6 C
Central Java
Kamis, 19 Juni 2025

Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 56

Banyak Dibaca

Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)

Wardjito Soeharso

OPINIJATENG.COM –

Lita menundukkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa. Dia sudah kalah, benar benar kalah. “Antar aku pulang,” pinta Lita dengan sangat berat hati. Harga dirinya jatuh seketika.

“Hahahaha….” Iben tidak dapat lagi menahan diri. Lepas tawanya sangat renyah.

“Semua barangku ada di mobil, termasuk dompet dan ponsel! Itu kan karena ulahmu!”

“Bodoh! Kamu kan….” Kata-kata Iben tiba-tiba terhenti.

Sebenarnya, dengan mudah Iben bisa menolak permintaan Lita dan menyuruhnya naik taxi dan membayar di rumah, tapi dalam waktu bersamaan muncul ide yang lebih bagus daripada menolak.

“Baiklah. Ayo ikut aku ambil mobilmu dan kita pulang.”

Vespa butut Iben terparkir di antara banyak sepeda motor lainnya.

Lita sedikit was-was karena kepalanya masih terasa nyeri akibat benturan kecelakaan tadi.

Tanpa bicara dia mengikuti Iben yang berjalan menuju tempat parkir motor.

Lita baru ingat, dari tadi dia mengikuti Iben yang membawa motor butut.

Lita menghentikan langkahnya.

Iben ikut berhenti karena tidak mendengar ketukan sepatu highheel mahal milik Lita.

“Kenapa?”, Tanya Iben.

“Bukannya kamu salah arah?” jawab Lita sambil menunjuk ke arah parkiran mobil.

BACA JUGA: Menyongsong Hari Ibu : Mewaspadai Bangkitnya Malin Kundang Kembali

“Itu, Vespaku.”

Iben menunjuk ke arah motor yang paling butut dari semua motor yang ada. Lita tersenyum getir.

“Bisa kita pulang naik taxi saja?”

Lita mengisyaratkan pada Iben jika dia sedang mengenakan high heels.

Iben kemudian merogoh kantong baju dan celananya, dan memperlihatkan selembar uang lima ribu rupiah.

“Ini hanya cukup untuk naik, angkot. Ambillah, aku ikhlas.”

Lita membayangkan betapa pengap dan tidak nyamannya naik angkot di siang hari terik begini.

“Apa motormu benar-benar bisa dinaiki?” tanya Lita.

“Hmmm…. aku tidak yakin, jadi ambil saja uang ini, dan naik angkot. Itu jauh lebih baik. Percayalah!”

“Tidak, Tidak! Sudah cepat sana ambil motormu saja,” perintah Lita.

Dugaan Iben salah.

Iben berpikir Lita pasti akan menolak untuk naik Vespa bututnya.

Iben menyesal mau mengantar Lita, karena sebenarnya dia tidak ingin melakukannya.

Iben lalu mencoba memikirkan cara lain agar Lita tidak mau diantar pulang dengan motornya.

Dia menuntun Vespanya di depan Lita,

“Apa kamu yakin mau naik Vespaku? Sebaiknya kamu naik angkot saja.”

Iben masih berusaha sekali lagi untuk menggoyahkan keputusan Lita.

Tapi Lita seolah tidak mendengar pertanyaan Iben.

Dengan susah payah dia berusaha untuk naik ke jok bagian belakang Vespa Iben.

“Yahh… Aku sudah terlanjur naik.”

“Sial!”

Iben mengumpat dalam hati.

Tapi, dia belum juga menghidupkan mesin motornya.

Dia penasaran dan masih ingin mencoba yang terakhir kali.

“Aku tidak bawa helm.”

“Kalau ditilang Polisi biar ayahmu yang urus, kan gampang.”

“Betul juga. Dan kalau kecelakaan terus kamu gegar otak. Kan bagus.”

“Kamu…!?”

Akhirnya Iben menyalakan mesin motornya.

BACA JUGA: Gebrakan Jateng Entaskan Kemiskinan Ekstrem

Vespa itu pelan-pelan meninggalkan halaman parkir Rumah Sakit.

Lita duduk kaku di jok belakang.

Bajunya tidak memungkinkan membonceng dengan mengangkangkan kaki.

Dia duduk menyamping, menjaga keseimbangan tubuhnya mengikuti gerak Iben yang mengemudikan Vespanya.

Agar dapat duduk dengan aman, Lita harus berpegangan pada jok yang diduduki Iben.

Walaupun sedikit was-was, Lita tetap duduk diam di boncengan.

Iben juga diam saja selama mengemudikan Vespanya.

Jalanan kota sudah cukup ramai siang itu.

Segala macam kendaraan berebut cepat saling susul.

Semua pengendara terbiuskan pemandangan penuh kesibukan.

Hampir tidak ada orang saling memperhatikan.

Tak peduli satu sama lain.

Semua terburu-buru di jalanan yang penuh, sesak, berisik, dan udara sangat kotor berpolusi.

Panas matahari yang menyengat di kulit menjalar hingga ke hati.

Tak jarang hanya karena kesalahan kecil orang mudah tersulut emosi.

“Bisa helmnya aku yang pakai?” pinta Lita tiba-tiba di tengah keramaian jalan.

“Ha?”

BACA JUGA:Asah Kemampuan, Siswa SMA Negeri 1 Purwanegara Dilatih Jurnalistik Multimedia

“Rambutku bisa rusak jika kena polusi seperti ini.”

“Bukan urusanku.”

“Sumpah aku pusing,” keluh Lita, “aku mau muntah,” keluhnya lagi.

Iben meminggirkan Vespanya, lalu berhenti.

Tanpa bicara dia lepas helmnya dan diberikan kepada Lita.

Lita juga tanpa bicara langsung menerima helm dari tangan Iben dan segera memakainya.

Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Lita.

Tidak ada sekadar ucapan terima kasih walau sudah diberi helm.

Iben benar-benar kesal.

Sungguh, kali ini Iben menyesal bersedia mengantar Lita pulang.

Alih-alih mengerjai Lita, justru dirinya yang malah merasa dikerjai Lita.

Mereka akhirnya berada di jalan yang lebih sepi dan sejuk.

Di kanan kiri jalan, pohon besar berdiri kokoh, daun-daunnya rindang menghalangi terik matahari.

“Nah begini lebih baik, sudah lama aku tidak merasakan sensasi naik motor.”

“Memangnya kamu lahir sudah jadi orang kaya sombong yang ogah naik motor?”

Lita menelan ludah, “Yaaa, begitulah.”

Jegleg…!

Tiba-tiba Vespa mati mesinnya dan berhenti begitu saja.

“Ada apa?” tanya Lita was-was.

BACA JUGA: Cegah Stunting Guru Besar FSM UNDIP Kembangkan Alat Pereduksi Pestisida pada Sayur dan Buah

“Sepertinya mogok. Motor ini mogok jika dinaiki orang yang tidak dia suka.”

“Memangnya siapa yang suka naik motor butut seperti ini!” kata Lita sengit tak mau kalah.

“Aku, ibu, dan temanku! Dan tidak pernah mogok,” jawab Iben tegas.

“Yang benar saja…” Nada bicara Lita meremehkan.

“Aku yakin yang kamu sebut teman itu seorang laki-laki. Hahahaha….” Lita menertawakan Iben.

“Jangan sembarangan kalau bicara. Tentu saja dia wanita cantik, bukan sepertimu.”

“Okay, siapa namanya?”

“Dodit.”

Iben tidak sadar baru saja keceplosan mengucapkan nama laki-laki.

“Ma..maksudku Dodita.”

KOMENTAR : weesenha@gmail.com***

Artikel Terkait

Artikel Terakhir

Populer