Sejak Minggu 24 Oktober 2021, OPINIJATENG.com menyajikan novel “Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang” karya Wardjito Soeharso, novelis asal Kota Semarang, secara bersambung (serial). Semoga bermanfaat. (red)
OPINIJATENG.COM –
Sedang aku adalah si bungsu yang kelahirannya tidak dianggap oleh kakak tertuaku dan dibenci oleh kakak keduaku.
Ikang telah dijanjikan dengan dunia yang besar sehingga tidak ada yang bisa dilihat selain bayang-bayang ayah.
Dia mengikuti bayang-bayangnya dan sepertinya mulai menikmatinya.
Ya, hanya seperti itulah hidupnya.
Ibas yang selama ini hanya bisa merasakan kasih sayang ibu, takut kehilangannya setelah kelahiranku.
Di bawah sadar dia seperti membenci aku dan ibu.
Padahal, aku sangat senang bila dekat dengannya.
Ibu pun tampak bahagia bila melihat Kak Ibas dan aku main bersama.
Tapi Kak Ibas memang sudah tampak cerdas sejak kecil.
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 1
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 2
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 3
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 4
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 5
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 6
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 7
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 8
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 9
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 10
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 11
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 12
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 13
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 14
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 15
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 16
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 17
BACA JUGA : Di Balik Bayang-bayang Kasih Sayang – 18
Bila ada ibu di dekatnya, dia bersikap baik padaku.
Tapi bila tidak ada ibu, dia dingin dan tidak peduli.
Aku yang masih kecil belum begitu paham, sehingga walaupun Kak Ibas dingin dan tak acuh, aku tetap mengikutinya ke manapun dia pergi bermain.
Kak Ibas tetap kakak kesayanganku dan aku selalu ingin mengikutinya seperti Kak Ikang mengikuti ayah.
Kak Ibas sering juga mengatakan dia membenciku tapi dia selalu melakukan hal-hal yang membuatku sayang padanya.
Aku sadar saat itu kami hanyalah anak-anak.
Dan dulu aku sering berkata, “Ayah sayang Kak Ikang, ibu sayang Kak Ibas. Kak Ibas sayang Iben.”
Saat-saat seperti itu adalah saat di mana kehidupan keluargaku masih sederhana.
Kami masih anak-anak yang tahunya hanya bermain sepulang dari sekolah.
Ibuku sibuk ngurus rumah dibantu Mbok Siti.
Waktu terus berjalan.
Usaha kayu ayahku semakin maju dan berkembang.
Ayah lalu membangun rumah baru dan membawa kami pindah.
Rumah yang saat ini aku tempati, rumah yang besar, sebesar harapan kami akan kebahagiaan di masa depan nantinya.
Ternyata, kami tidak pernah menyadari kebahagiaan besar itu akan berlangsung sangat singkat.
Dalam waktu singkat ayahku menjadi pengusaha yang cukup terkenal dan dihormati.
Lingkaran pergaulannya tak lagi terbatas lingkaran bisnis, tetapi juga sudah memasuki lingkaran politik dan kekuasaan.
Ayah masuk dalam berbagai organisasi.
Karir politiknya melejit.
Ayah lalu berhasil meraih posisi sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah Provinsi Organisasi Kepemudaan.
Waktu terus berjalan.
Melihat potensi ayah, banyak orang menyarankan agar ayah masuk ke panggung politik, menjadi anggota dewan.
Tepatnya, orang-orang itu adalah para elit partai politik yang melihat potensi besar pada jaringan dan kekayaan ayah saat itu.
Ayah punya banyak kawan sesama pebisnis dan dana yang cukup untuk memenangkan kampanye.
Dan ayah terhasut oleh tipu daya mereka.
Ayah orang yang baik dan tidak bisa menolak untuk tidak berbuat baik. Wibawa dan tegas, ayah benar-benar mempunyai figur pemimpin dan jadilah ayah sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah dan kemudian terus berlanjut jadi anggota DPR RI, berkantor di gedung megah penuh wibawa, di Senayan, Jakarta.
Tidak tanggung-tanggung, di Senayan, ayah bisa langsung terpilih sebagai salah satu Wakil Ketua.
Saat ayah menjadi anggota dewan dia mulai disibukkan dengan banyak hal.
Ayah punya dunia baru yang tidak bisa aku pahami.
Aku masih seorang bocah yang duduk di bangku SMP, belum begitu paham dengan apa yang sedang terjadi.
Ketika Kak Ikang baru kelas dua SMA, ayah sudah tak sabar dan langsung mengirimnya ke Amerika Serikat, untuk meneruskan belajar di sana.
Memang benar, setelah Kak Ikang menyelesaikan SMAnya di sana, akhirnya ayah berhasil memasukkan Kak Ikang ke universitas ternama di Boston.
Aku sempat iri kepada Kak Ikang, Amerika Serikat adalah tempat yang terdengar sangat menarik bagi siswa SMP.
Tapi tidak bagi siswa SMA seperti Kak Ibas.
“Bukan masalah di mana kita belajar, tapi masalah apa yang kita pelajari,” jawab Kak Ibas saat aku bertanya kenapa dia tidak ingin pergi ke Amerika Serikat seperti Kak Ikang.
“Benar juga, memangnya apa yang Kak Ikang pelajari di Amerika?” tanyaku lagi.
“Belajar untuk jadi seperti Ayah.”
Kak Ikang selalu mendapatkan apa pun yang dia inginkan karena dia menuruti setiap kata ayah.
Tapi ayah tidak pernah mengawasi Kak Ikang.
Ayah terlalu percaya Kak Ikang tumbuh dewasa dengan baik.
Ayah telah memberikan kebebasan tak terbatas padanya.
Pada usia yang sangat dini, sekitar delapan belas tahun, ketika Kak Ikang masih kelas dua SMA, ayah sudah mengirimnya ke negeri yang sangat jauh.
Ayah yakin pendidikan di Amerika Serikat akan mampu membentuk Kak Ikang menjadi pemuda cerdas, tangguh, dan hebat.
Ayah selalu menjanjikan masa depan pada Kak Ikang, tapi sepertinya ayah tidak sadar dia juga yang menjerumuskannya pada dunia yang akan menghancurkan masa depannya.
Teman-teman Kak Ikang semuanya adalah anak-anak orang kaya, hal itu juga yang membuatnya tidak henti-hentinya mengeluarkan banyak uang untuk berfoya-foya dan bergaya.
Ibu tahu, dia sedih dan berulang kali memarahi kakakku, tapi tidak ada gunanya.
Meski ibu melaporkannya pada ayah, nampaknya percuma saja.
Ayah hanya tertawa.
Kak Ikang tetap jadi kebanggaan ayah.
Kak Ibas tetap menjadi anak pembangkang dan aku hanya anak yang masih belum menyadari di mana posisiku.
“Percuma ke Amerika, Kak Ikang tetap menjadi orang yang tidak berguna.” Begitu selalu kata Kak Ibas.(bersambung)
KOMENTAR : weesenha@gmail.com***